simpananku

  • simpananku

Senin, 15 Maret 2010

sejarah singkat peradaban islam(spi) dari masa ke masa


Jejak-jejak Sejarah Peradaban Islam PDF | Print |

Berkembangnya peradaban Islam karena dilandasi oleh semangat ketuhanan (tauhid). Berkembangnya agama Islam sejak 14 abad silam turut mewarnai sejarah peradaban dunia. Bahkan, pesatnya perkembangan agama Islam itu, baik di barat maupun timur, pada abad ke-8 sampai 13 Masehi mampu menguasai berbagai peradaban yang ada sebelumnya.

Tak salah bila peradaban Islam dianggap sebagai salah satu peradaban yang paling besar pengaruhnya di dunia. Bahkan, hingga kini, berbagai jenis peradaban Islam itu masih dapat disaksikan di sejumlah negara bekas kekuasaan Islam dahulu, misalnya Baghdad (Irak), Andalusia (Spanyol), Fatimiyah (Mesir), Ottoman (Turki), Damaskus, Kufah, Syria, dan sebagainya. Menurut Ma'ruf Misbah, Ja'far Sanusi, Abdullah Qusyairi, dan Syaid Sya'roni dalam bukunya Sejarah Peradaban Islam, setidaknya ada dua sebab dan proses pertumbuhan peradaban Islam, baik dari dalam maupun luar Islam.

Dari dalam Islam, perkembangan kebudayaan dan peradaban Islam itu karena bersumber langsung dari Alquran dan sunnah yang mempunyai kekuatan luar biasa. Sedangkan, dari luar Islam, peradaban Islam itu berkembang disebabkan proses penyebaran Islam yang dilandasi dengan semangat persatuan, perkembangan institusi negara, perkembangan ilmu pengetahuan, dan perluasan daerah Islam.

Menurut Ma'ruf Misbah dkk, perkembangan peradaban Islam yang dilandasi dengan semangat persatuan Islam telah ditanamkan Rasulullah SAW sejak awal perkembangan Islam di Timur Tengah. Kemudian, dalam praktiknya, seiring dengan makin luasnya wilayah kekuasaan Islam, gesekan atau kebudayaan masyarakat setempat memengaruhi umat Islam untuk mengadopsi dan mewarnai peradaban lokal yang disesuaikan dengan ajaran Islam.

Dari proses semacam inilah, peradaban Islam terus berkembang dari peradaban kebudayaan, bangunan, bahasa, adat istiadat, hingga pada ilmu pengetahuan. Direktur Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS), Hamid Fahmy Zarkasyi, mengatakan, peradaban Islam adalah peradaban ilmu.

''Substansi peradaban Islam itu ibarat pohon (syajarah) yang akarnya tertanam kuat di bumi, sedangkan dahan-dahannya menjulang tinggi ke langit dan memberi rahmat bagi alam semesta. Akar itu adalah teologi Islam (tauhid) yang berdimensi epistemologis,'' ujarnya.

''Lalu, berkembang menjadi tradisi pemahaman terhadap Alquran sehingga lahir intelektual Islam. Dari tradisi ini, kemudian terbentuklah komunitas sehingga melahirkan konsep keilmuan dan disiplin keilmuan Islam. Dari sini, lalu lahir sistem sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan Islam,'' terangnya.

Ma'ruf menambahkan, berkembangnya peradaban Islam itu disebabkan Islam meletakkan dasar-dasar kepercayaan murni. ''Keyakinan manusia hanyalah pada Tuhan, bukan pada benda, hawa nafsu, atau kemegahan. Semua kerja kemanusiaan hanyalah untuk Allah. Tidak ada yang perlu dipertuan dan dipertuhankan, kecuali Allah,'' tulisnya.

Karena itu, tak heran bila akhirnya kekuatan Islam yang bersendi pada Alquran mampu menaklukkan berbagai wilayah negara. Di mulai dari masa Rasulullah, kemudian diteruskan di masa Khulafaur Rasyidin, hingga masa tabiin dan munculnya berbagai dinasti Islam di sejumlah negara, seperti Dinasti Abbasiyah, Umayyah, Fatimiyyah, Ottoman, Mamluk, dan sebagainya.

Dari keyakinan itu pula, umat Islam mampu membentuk peradaban baru dan kebudayaan baru hingga menghasilkan berbagai macam peradaban di wilayah kekuasaan Islam tersebut. Seperti diketahui, menyebarnya agama Islam ke berbagai wilayah telah terjadi pertukaran kebudayaan antara satu negeri dan negara lainnya.

Bidang kebudayaan yang mulai tumbuh pada awal permulaan Islam itu adalah (a) seni bangunan sipil, seperti pembuatan gedung, istana, dan kantor pemerintahan; (b) seni bangunan untuk ibadah; (c) seni bangunan pertahanan militer, seperti benteng; dan sebagainya.

Pada masa Khulafaur Rasyidin, dibentuk pula sejumlah departemen untuk mengurus kebutuhan negara Islam, seperti departemen masalah politik (nizham al-siyasyi), departemen administrasi negara (nizham al-Idary), departemen ekonomi dan keuangan (nizham al-Maly), departemen angkatan perang (nizham alHarby), serta departemen urusan peradilan dan kekuasaan kehakiman (nizham al-Qadla). Selain itu, pertumbuhan ilmu pengetahuan juga mulai tumbuh seperti ilmu tafsir, qiraat, ilmu hadis, nahwu, dan sebagainya.

Kehilangan spirit
Sayangnya, kata Hamid, perkembangan peradaban Islam itu secara perlahan kini mulai kehilangan spirit (roh) Islam. ''Arus modernisme dan posmodernisme yang mengalir ke dunia Islam bersamaan dengan globalisasi telah mengakibatkan proses desakralisasi ilmu,'' ujarnya.

Menurut Weber, hal itu akibat dari disenchantment of nature dan deconsencration of value. Keduanya merupakan inti dari doktrin sekularisme. ''Dengan sekularisme, Muslim kehilangan spiritualitas dalam berbagai bidang yan pada gilirannya telah membuat hilangnya moralitas (adab),'' jelas Hamid.

Belum selesai proses sekularisasi tersebut, kini muncul pula liberalisme, yaitu liberalisasi yang diembuskan oleh Barat. Akibatnya, kata Hamid, intelektual seorang Muslim menjadi ikut berpikir ala Barat (westernisasi). ''Dunia Islam saat ini dikuasi oleh peradaban materi dan hedonisme,'' tegasnya.

Ditambahkan Komaruddin Hidayat, rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, untuk mengembalikan kejayaan peradaban Islam itu, dibutuhkan kreativitas dan inovasi dalam membangkitkan semangat umat kembali.



Mengenal Tokoh dan Warisan Peradaban I

Menurut Ma'ruf Misbah dkk dalam bukunya Sejarah Peradaban Islam, peradaban Islam dari masa Bani Abbasiyah hingga Dinasti Umayyah dapat dibagi menjadi beberapa bentuk, yakni kota pusat peradaban Islam, bangunan-bangunan, penemuan, dan tokoh-tokohnya.

A. Kota pusat peradaban
Kota-kota yang terkenal menjadi pusat peradaban Dinasti Abbasiyah antara lain:

Baghdad
Kota ini merupakan yang paling indah karena dikerjakan oleh lebih dari 100 ribu pekerja yang dipimpin oleh Hajaj bin Arthal dan Amran bin Wadldlah. Di kota ini, terdapat istana di pusat kota, asrama pegawai, rumah kepala polisi, dan rumah keluarga khalifah. Istananya bernama Qasruzzabad yang memiliki luas 160 ribu hasta persegi. Dibuat sangat indah dengan membujur empat jalan utama ke luar kota. Di kiri kanan jalan, dibuat gedung bertingkat. Di luar Kota Baghdad, dibangun kota satelit, seperti Rushafah dan Karakh. Kedua kota tersebut dilengkapi dengan kantor, toko-toko, rumah, taman, kolam, dan lainnya. Karena itu, Kota Baghdad menjadi kota impian seluruh dunia.

Samarra
Letaknya di sebelah timur Sungai Tigris, kurang lebih 60 kilometer dari Baghdad. Kotanya sangat indah, nyaman, dan teratur. Nama 'Samarra' diberikan oleh Khalifah Al-Manshur. Ketika peresmian kota, banyak orang yang terkesan dengan keindahannya. Hal ini sesuai dengan namanya Samarra yang berasal dari kata 'Sarra Man Ra'a' yang berarti senang memandangnya. Di kota ini, terdapat 17 istana yang sangat indah, cantik, dan mungil yang menjadi contoh seni bangunan Islam di kota-kota lainnya.

Sevilla
Kota ini merupakan salah satu kota terindah di Spanyol dan terletak di tepi Sungai Guadal Quivir. Pernah menjadi ibu kota Kerajaan Mulukuththawaif.
Di kota ini, dulu, dibangun sebuah masjid yang sangat megah. Namun, kini masjid itu telah menjadi Gereja Santa Maria. Menaranya mencapai 70 meter dengan dasar sekitar 13,60 meter.

Granada
Kota ini memiliki tanah yang subur. Di kota ini, dibangun sebuah istana yang sangat terkenal sampai kini, yaitu Istana Granada yang dibuat oleh raja-raja Akhmar dan diberi nama al-Hambra.

Cordoba
Kota ini didirikan oleh Abdurrahman Ad-Dakhil (Abdurrahman sang Penakluk, wafat 852 M). Puncak keemasannya dialami pada masa Sultan Abdurrahman III yang bergelar An-Nasyir (w 961 M). Cordoba menjadi kota teladan di seluruh Eropa karena kota lainnya sangat kotor, becek, gelap, serta sepi. Sementara itu, Cordoba sangat indah, terang benderang, bersih, dan indah di pandang mata.

Qahirah atau Kairo
Kota Kairo didirikan oleh Jauhar As-Saqali tahun 358 Hijriyah sebagai pusat Dinasti Fatimiyah di Mesir. Di kota ini, terdapat Universitas Al-Azhar yang menampung ribuan mahasiswa dari berbagai penjuru dunia.
Selain Universitas Al-Azhar, di kota ini juga terdapat Masjid Amru bin Ash.

B. Bangunan-bangunan

Madrasah
Pada masa Dinasti Abbasiyah, ilmu pengetahuan berkembang pesat. Di masa ini, didirikan madrasah yang diberi nama nizhamiyyah dan didirikan oleh Nizamul Mulk, seorang perdana menteri. Tak hanya di Baghdad, sekolah nizhamiyah ini juga didirikan di kota lainnya, seperti Balkan, Muro, Tabrisan, Naisabur, Hara, Isfahan, Mosul, Basrah, dan lainnya.

Kutab
Adalah tempat belajar para siswa (pelajar) dengan pelajaran tingkat rendah sampai menengah.

Masjid
Selain digunakan sebagai sarana ibadah, masjid juga digunakan untuk tempat belajar tingkat tinggi.

Majeslis Munadlarah
Merupakan tempat pertemuan para pujangga, ahli pikir, dan para sarjana untuk mendiskusikan berbagai topik ilmiah. Majelis ini banyak terdapat di berbagai kota.

Darul Hikmah
Adalah perpustakaan terbesar di masa ini. Ia didirikan oleh Khalifah Harun al-Rasyid dan diteruskan oleh khalifah Al-Ma'mun (Almamoon).

Masjid Raya Cordoba
Dibangun pada tahun 786 M. Masjid ini dapat menampung hingga 80 ribu orang. Panjangnya mencapai 175 meter, sedangkan tiangnya berjumlah 1400 buah dengan tinggi mencapai 20 meter. Kubahnya disangga oleh 300 buah pilar marmer. Masjid tersebut kini telah menjadi gereja.

Masjid Ibnu Taulon Kairo
Dibangun tahun 876 M oleh Sultan Ahmad Ibnu Taulon. Di atas dindingnya terdapat balok memmbujur yang dihiasi dengan ayat Alquran. Balok ini diambil dari Gunung Ararat (Armenia, Turki) oleh Ibnu Taulon. Pilarnya menyerupai seni gothik dalam Gereja Masehi. Hiasannya bertuliskan Arab.

Istana Al-Hambra di Cordoba (Spanyol)
Al-Hambra merupakan sebuah istana yang permai. Di dalamnya terdapat masjid yang diberi nama Al-Mulk (Masjid Sultan). Masjid ini didirikan oleh Sultan Muhammad II.

Taj Mahal
Adalah sebuah bangunan indah bertahtakan ratna mutu manikam yang diciptakan oleh Sultan Syekh Jehan (1628-1657). Tempat ini dibuatnya sebagai persembahan untuk permaisurinya yang meninggal dunia. Taj Mahal terdapat di daerah Agra, India.

C. Penemuan dan tokoh-tokohnya

Dalam sejarah peradaban Islam selama lebih kurang delapan abad mengalami masa kejayaan, banyak penemuan yang berhasil dilakukan oleh ilmuwan Islam dalam bidang ilmu pengetahuan, di antara sebagai berikut.

Ilmu filsafat
Tokohnya antara lain Al-Kindi (194-260 H/809-873 M), Al-Farabi (w 390 H/961 M), Ibnu Bajah (w 523 H), Ibnu Thufail (w 581 H), dan Ibnu Sina (370-428 H/980-1037 M). Ibnu Sina, selain dikenal ahli filsafat, ia juga dikenal sebagai bapak kedokteran Islam. Ia banyak menulis karya, seperti Qanun fi Thib, Asy-Syifa, dan lainnya.
Selain nama di atas, tokoh lainnya adalah Al-Ghazali (450-505 H/1058-1101 M). Beberapa karyanya adalah Ihya Ulum Al-Din, Tahafut al-Falasifah, dan al-Munqizh Minadl Dhalal.
Kemudian, ada Ibnu Rusyd (520-595 H/1126-1198 M). Karangannya adalah Mabdiul Falasifah, Kasyful Afillah, dan Al-Hawi dalam bidang kedokteran.

Ilmu kedokteran
Selain Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd, tokoh lainnya adalah Jabir bin Hayyan (w 161 H/778 M), Hunain bin Ishaq (194-264 H/810-878 M), Thabib bin Qurra (w 901 M), dan Ar-Razi (251-313 H/809-873 M).

Ilmu matematika
Dua orang tokohnya antara lain adalah Umar Al-Farukhan (arsitek pembangunan Kota Baghdad) dan Al-Khawarizmi (pengarang kitab Al-Jabar yang juga menemukan angka nol (0)). Sedangkan, angka 1-9 berasal dari India yang dikembangkan oleh Islam. Karena itu, angka 1-9 disebut pula dengan angka Arab. Namun, setelah ditemukan orang Latin, namanya pun disebut dengan angka Latin.

Bidang Astronomi
Tokoh perbintangan atau ilmuwan islam dalam bidang ini adalah Al-Fazari, Al-Battani, Abu Wafak dan Al-Farghoni.

Bidang Seni Ukir
Dalam bidang ini, umat Islam cukup terkenbal dengan hasil seni pada botol tinta, papan catur, payung, pas bunga, burung-burungan dan pohon-pohonan. Tokohnya antara lain Al-Badr dan Al-Tariff sekitar tahun 961-976 M. Seni ukir yang dikembangkan tidak hanya pada kayu tapi juga pada logam, emas, perak, marmer, mata uang, dan porselin.

Pendidikan, Modal Utama Mengembangkan Peradaban Islam
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, disebutkan bahwa peradaban adalah hal yang menyangkut sopan santun, budi pekerti, dan kebudayaan suatu bangsa. Definisi yang cukup singkat dan padat ini punya kemiripan dengan banyak definisi yang diajukan kalangan peneliti dan ilmuwan. Hampir semua definisi menyebutkan bahwa budaya, baik materi maupun nonmateri, termasuk dalam unsur peradaban.

Berkaitan dengan budaya sebagai unsur penting peradaban, Prof Dr Komaruddin Hidayat dalam perbincangannya dengan Republika mengatakan, budaya adalah modal utama peradaban. Suatu bangsa atau masyarakat memerlukan modal untuk maju. Caranya, modal budaya ini dipelihara dan dikembangkan melalui sistem pendidikan yang baik agar melahirkan budaya tinggi (high culture), seperti ilmu pengetahuan.

"Peradaban tumbuh dari kebudayaan yang dikembangkan, dimodifikasi, dan ditingkatkan. Sebaliknya, jika kebudayaan dibiarkan saja tanpa perawatan dan pengembangan, yang terjadi adalah kemunduran peradaban," kata Komaruddin.

Banyak sudah bukti kemerosotan peradaban yang bisa dijadikan contoh. Dahulu, ada peradaban Mesir, Persia, Yunani, Romawi, India, dan Cina yang pernah mencapai puncak kegemilangan peradaban. Tetapi, peradaban-peradaban itu kemudian tenggelam dan muncul peradaban baru, salah satunya Islam. Adakah sesuatu yang berbeda dari peradaban Islam ini?

Menurut Komaruddin, peradaban umat-umat terdahulu bersifat lokal akibat minimnya kontak antara satu bangsa dan bangsa lain. Setiap peradaban berdiri sendiri-sendiri. Peradaban Mesir tumbuh dan berkembang secara mandiri tanpa pengaruh dari peradaban lain. Demikian juga peradaban Cina, India, Persia, dan Yunani Romawi.

Ini berbeda dengan peradaban Islam yang lahir sebagai ahli waris peradaban-peradaban sebelumnya. Dalam pengamatan Howard R Turner dalam bukunya Sains Islam yang Mengagumkan, umat Islam menerima warisan berharga dari budaya-budaya Asia, Yunani, Romawi, Bizantium, dan Afrika. Sebagian warisan budaya bangsa-bangsa terdahulu itu diterima apa adanya dan sebagian lain diubah.

Islam penerus peradaban lama
Keterbukaan Islam itu menghasilkan khazanah keilmuan dan kebudayaan yang melimpah. Mulai bidang seni, sastra, filsafat, dan ilmu pengetahuan berkembang sangat baik dalam naungan Islam. Menurut Turner, apa yang diwarisi oleh umat Muslim dapat ditelusuri ke masa Yunani kuno. Bahkan, konsep-konsep ilmu pengetahuan yang berkembang diperoleh dari Babilonia dan Mesir Kuno.

Di bidang seni musik, umat Islam meneruskan teori-teori musik dari Bizantium dan Persia. Literatur lengkap yang berkaitan dengan musik Arab mulai dikembangkan pada abad ke-8 oleh para sarjana dan spesialis Muslim. Pada masa itu, muncul nama yang sangat terkenal, yaitu al-Mawsili.

Selain bidang seni musik, sejak abad ke-9, para ilmuwan Muslim secara serius mengkaji warisan pemikiran ilmiah dan filsafat dari peradaban-peradaban terdahulu melalui kegiatan penerjemahan ke dalam bahasa Arab. Umat Muslim tidak hanya menyerap dan menyistemasikan warisan yang berharga itu. Lebih dari itu, orang-orang Islam memperkayanya dengan penemuan-penemuan baru, terutama di bidang ilmu-ilmu pasti.

Turner mengakui apa yang dicapai oleh umat Islam pada masa kejayaannya belum pernah diraih oleh peradaban-peradaban besar sebelumnya. Islam, menurutnya, punya sistem dan tuntunan kehidupan yang tidak pernah dimiliki umat lain, yaitu Alquran dan sunnah Nabi Muhammad SAW. Di sinilah, apa yang dikatakan oleh Komaruddin bahwa kebudayaan harus ditopang dengan sistem pendidikan menemukan korelasinya. Alquran adalah sumber ajaran dan pendidikan bagi umat Islam.

Dalam masalah Alquran sebagai tuntunan dan sumber pendidikan, Turner membuat ilustrasi yang menarik. Ia mengatakan, meskipun dari segi ukuran teritorial tidak ada perbedaan antara Romawi Kuno dan wilayah Islam, perbedaan pada bidang pemerintahannya sangat kentara. Pada masa puncak kejayaannya, kekaisaran Romawi diperintah oleh seorang kaisar melalui sistem hukum sipil yang ia warisi sesuka hatinya.

''Ini berbeda dengan Islam yang diperintah oleh banyak sekali dinasti-dinasti yang merdeka secara politik. Namun, para penguasa tidak menempatkan diri mereka di atas hukum Islam yang telah ditentukan dalam Alquran dan sunnah Nabi Muhammad SAW,'' kata Turner.

Apa yang dikatakan Turner diamini oleh Syekh Muhammad Al-Ghazali, seorang ulama asal Mesir. Menurut Ghazali dalam bukunya Berdialog dengan Alquran, Alquran menuntun umat Islam ke arah perenungan sejarah yang mempelajari hukum jatuh bangunnya masyarakat.

Di samping itu, Alquran membeberkan peradaban bangsa-bangsa yang hidup pada masa lalu, ideologi, landasan etis, serta struktur politisnya secara gamblang untuk dijadikan bahan pelajaran.

Pandangan Orientalis tentang Peradaban Islam
Banyak pihak mengakui bahwa peradan yang berkembang di negeri Barat banyak dipengaruhi oleh peradaban Islam. Bahkan, beberapa orang Eropa sendiri sebagian mengakui bahwa mereka tak mungkin mengenal kebudayaan dan peradaban sekarang ini kalau tidak diberikan oleh para intelektual Muslim.

Berikut ini beberapa ilmuwan Barat yang mengakui kemajuan peradaban Islam.
a. Prof Dr Charles Singer (seorang dokter)
''Di Barat, ilmu tasrih (anatomi) dan ilmu kedokteran sebenarnya tidak ada. Ilmu mengenal penyakit dipergunakan dengan cara yang bukan-bukan. Seperti dengan jengkalan jari, tumbuh-tumbuhan, tukang jual obat, dan takhayul sebagai sarana pengobatan.''

b. Prof HAR Gibb (guru besar London University)
''Sastra Barat berasal dari sastra Muslim. Hal itu tidak perlu dipertentangkan atau diperselisihkan lagi.''

c. Prof Leo Weiner (sastrawan Barat)
''Konflik pengaruh sastra Islam dengan sastra Eropa dimulai pada abad ke-8 Masehi.''

d. Dr Peter Du Berg
''Seorang pendeta bernama Peter the Venerable pernah berangkat ke Toldeo hendak menyalin Alquran. Tetapi, pendeta itu takjub ketika melihat orang Yahudi yang beragama Islam sedang menulisnya di atas benda tipis yang halus (kertas). Kemudian, ia membawa kepandaian umat Islam itu dalam membuat kertas di Prancis.''

e. Ibnu Tumlus di Alcira (ilmuwan Barat dalam bidang ilmu ukur, ahli musik, ilmu bintang, dan aritmatika)
''Orang Islam telah jauh melampaui kepandaian orang-orang Barat.''

f. Prof Kodrad dalam bukunya Uber den Usprung Deermite literchen Minnesang yang diterbitkan di Swiss tahun 1918 menulis, ''Eropa yang mendapatkan sastra dan nyala api peradaban modern berasal dari Islam.''

g. Pernyatan sejumlah orientalis
''Ilmu filsafat yang ditulis dua filsuf Barat kenamaan, Raymond Lull dan Raymond Martin, sebagian besar merupakan buah pikiran ahli filsafat Islam, yaitu Ibnu Rusyd dan Al-Ghazali.''
Pernyataan ini menunjukkan bahwa peradaban Islam, terutama dalam bidang ilmu pengetahuan, telah banyak memengaruhi ilmuwan Barat.


Penulis : sya/rid/dia/rep-ol

sejarah peradaban islam masa abu bakar


SEJARAH PERADABAN ISLAM PADA MASA ABU BAKAR ASH SHIDDIQ

Dunia islam mulai menorehkan tinta emas dalam sejarahnya sejak Nabi Muhammad SAW melakukan hijrah dari Mekah ke Madinah. Rahasia terpilihnya peristiwa yang agung ini sebagai permulaan sejarah Islam adalah karena sejak saat itu anugerah kemenangan dari Allah SWT kepada Rasulnya-Nya mulai terlihat, yakni kemenangan terhadap orang-orang yang memerangi beliau di kota suci tersebut. Padahal sebenarnya seluruh tokoh kabilah Quraisy telah mengatur siasat untuk membunuh beliau. Satu-satunya sahabat yang menemani Rasulullah SAW dalam perjalanan hijrah ini, tidak lain adalah Abu Bakar ash-Shidiq. Tatkala beliau sedang menderita sakit menjelang wafatnya sehingga tidak kuat lagi menunaikan shalat berjamaah bersama kaum muslimin. Abu Bakar pulalah yang ditunjuk menggantikan beliau sebagai imam.

Pilihan Rasulullah SAW kepada Abu Bakar untuk menyertainya dalam perjalanan hijrah dan menggantikan kedudukannya menjadi imam dalam shalat berjamaah bukan tanpa alasan sama sekali. Abu Bakar adalah orang yang pertama yang menyatakan keimanannya kepada Allah dan Rasulnya. Pengorbanannya yang dilandasi oleh keimanan yang kokoh, telah banyak ia lakukan. Ia selalu siaga membela Nabi dalam berdakwah, sebagaimana pembelaanya terhadap kaum muslimin. Kepentingan Rasulullah SAW lebih diutamakan daripada kepentingan dirinya sendiri. Bahkan dalam segala situasi,ia selalu mendampingi perjuangan Nabi SAW. Kesempurnaan akhlaknya berpadu erat dengan kekuatan imannya. Tidak hanya itu Abu Bakar juga dikenal juga sebagai seorang hamba Allah yang memiliki sifat paling kasih sayang kepada manusia lainnya.

Dengan makalah ini kita dapat mengetahui sejarah singkat perkembangan dan kemajuan Islam di masa kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq yang meneruskan perjuanagan dakwah Islam setelah wafatnya Rasulullah SAW. Dengan demikian kita dapat mengetahui kedudukan dan derajat para sahabat Nabi Muhammad SAW

A. Kehidupan Abu Bakar

Abu Bakar dilahirkan dengan nama Abdullah ibn Abi Qahafah dari seorang ayah bernama Abu Qahafah yang semula bernama Utsman ibn Amir. Sedangkan ibunya bernama Ummu al-Khair yang semula bernama salma binti sakhr ibn Amir. Sebelum ia memeluk Islam , Ia mendapat julukan dengan nama Abdul Ka’bah. Setelah masuk Islam, ia diberi nama oleh Rasulullah SAW dengan sebutan Abdullah. Sebutan lain baginya adalah Atik (artinya lolos/lepas). Asal mula julukan namanya sebagai Abdul Ka’bah berawal dari kenyataan bahwa ibunya setiap melahirkan anak lelaki, pasti meninggal dunia. Begitu Abu Bakar lahir dan dikaruniai kehidupan, orang tuanya sangat gembira. Serta merta dijulukinya anak lelaki mereka dengan sebutan Abdul Ka’bah. Ketika anak itu tumbuh menjadi remaja, namanya bertambah dengan julukan Atik yang menandakan seolah-olah ia lepas dari kematian. Tetapi menurut para Ahli Sejarah, “Atik”, bukanlah nama baginya, melainkan sekedar julukan karena kulitnya yang putih bersih. Di dalam riwayat lainnya, dikisahkan bahwa Aisyah putrinya pernah ditanya mengapa ayahnya diberi nama Atik. Aisyah lalu menceritakan bahwa pada suatu saat Rasulullah pernah melihat kepada Abu Bakar sambil berkata: “Inilah Atik Allah dari api neraka”. Dalam kesempatan lainnya, Abu Bakar datang kehadapan Rasulullah SAW bersama para sahabat lainnya Begitu melihat Abu Bakar, beliau berkata: ”Barang siapa orang yang senang melihat kepada orang yang lolos (Atik) dari api neraka, maka lihatlah kepadanya (Abu Bakar)”.

Sejak kecil Abu Bakar hidup seperti layaknya anak-anak lainnya di kota Mekah. Tatkala usianya menginjak masa dewasa, dia berdagang sebagai penjual kain. Sebagai seorang pedagang kain, Abu Bakar sangat berhasil dalam usahanya. Pada awal mudanya ia menikah dengan Kutailah binti Abdul Uza. Perkawinan ini membuahkan ketirunan Abdullah dan Asma. Kelak setelah masuk Islam. Dan perkawinannya dengan Ummu Ruman binti Uwaimir, Abu Bakar memperoleh dua orang anak, yaitu Abdurrahman dan Aisyah. Ketika berada di Madinah, Abu Bakar dengan Habibah binti Kharijah serta Asma Binti Umais. Dari istrinya yang terakhir ini, Abu Bakar dikaruniai seorang anak, yaitu Muhammad. Tidak hanya itu, dagangan Abu Bakar pun sangat maju dan memperoleh keuntungan sangat besar. Keberhasilan usaha dagangnya, barangkali di sebabkan oleh kepribadian dan akhlaknya yang mulia, sehingga sangat disenangi orang.

- Hubungannya dengan Nabi Muhammad SAW

Tempat tinggal Abu Bakar terletak di daerah pemukiman pedagang Quraisy yang kaya. Dari daerah itulah para pedagang Quraisy biasa mengirimkan barang dagangannya yang akan dijual di daerah Syam dan Yaman. Khadijah binti khuwailid yang kelak akan menjadi istri Nabi SAW juga tinggal di daerah tersebut. Karena tempat tinggal mereka berdekatan Abu Bakar menjalin persahabatan dengan Muhammad SAW setelah beliau menikah dengan khadijah dan menempati rumah istrinya itu. Usianya lebih muda dari usia Muhammad SAW, sekitar dua tahun lebih beberrapa bulan. Barangkali karena kesetaraan usia dan usaha dagangnya, Abu Bakar lebih memiliki keserasian dalam hal akhlak dan ketenangan jiwa dengan Rasulullah SAW. Demikian pula dengan keinginannya untuk meninggalkan adat-istiadat dan kepercayaan suku Quraisy.

Keserasian antara Abu Bakar dan Muhammad SAW yang menbersitkan nilai keabadian itu menimbulkan perbedaan pendapat pendapat para ahli sejarah mengenai jangka waktu persahabatan mereka. Sebagaian dari mereka menyebutlan bahwa persahabatan mereka telah terjadi jauh sebelum Muhammad diutus sebagai Nabi-Nya. Sedangkan pendapat lainyya menyebutkan bahwa persahabatan mereka dimulai sejak Muhammad SAW diangkat sebagai Rasul. Sebab hubungan mereka sebelumnya hanyalah merupakan hubungan ketetanggaan dan persamaan kepribadian. Sebelum Muhammad diutus oleh Allah SWT, beliau suka mnyendiri dengan menjauhi pergaulan orang-orang Quraisy yang dinilai sesat. Maka tatkala beliau diuts oleh Allah SWT +untuk menyampaikan risalah, ingatan beliau tertuju kepada Abu Bakar yang cerdas itu. Wahyu Allah yang baru diterimanya, beliau sampaikan kepada Abu Bakar. Diajaknya Abu Bakar untuk mengikuti agama Allah SWT yang Mahatunggal dan Mahakuasa. Tanpa berpikir panjang Abu Bakar langsung menerima ajakan Muhammad SAW itu. Hatinya tidak pernah ragu menerima seruan sahabatnya. Sejak saat itulah jalinan hubungan antara keduanya mulai berjalan erat. Persahabatan itu bertambah kokoh karena kesungguhan dan kejujuran Abu Bakar dalam memegang keimanan kepada Muhammad SAW beserta Risalah yang dibawanya. Mengenai hal itu, Aisyah menuturkan: “sejak aku dewasa, aku mulai tahu bahwa kedua orangtuaku telah beragama Islam. Tidak pernah seharipun terlewati kecuali Rasulullah SAW datang pagi dan sore hari”.

Karena pergaulannya yang luas ditambah dengan keramah-tamahannya, Abu Bakar mampu mengajak orang lain untuk mengikuti jejaknya untuk memeluk agam Allah SWT, Berkat ajakannya beberapa orang kemudian masuk islam . Mereka antara lain adalah Abdurrahman ibn Auf, Utsman ibn Affan, Thalhah ibn Ubaidillah, Sa’ad ibn Abi Waqqash dan Zubair ibn Awwam. Menyusul kemudian Abu Ubaidah ibn Jarrah serta beberapa orang penduduk Mekah lainnya.


B. Pembaitan Abu Bakar

Sesudah Rasulullah wafat,kaum Ansar menghendaki agar orang yang akan jadi Khalifah dipilih dari kalangan mereka.Dalam pada itu Ali bin Abi Talib menginginkan agar beliaulah yang diangkat menjadi Khalifah, berdasarkan kedudukan beliau dalam Islam, apalagi beliau adalah menantu dan karib Nabi SAW. Tetapi bahagian terbanyak dari kaum Muslimin menghendaki Abu bakar, maka dipilihlah beliau jadi Khalifah,Orang-orang yang tadinya untuk memberikan bai’at kepada Abu bakar pun turut jejak langkah golongan terbanyak dari kaum Muslimin dan segera pula memberikan baiatnya.

Sesudah Abu Bakar dilantik menjadi Khalifah , beliau pun berpidato. Dalam pidatonya itu dijelaskan nya siasah pemerintahan yang akan belau jalankan. Dibawah ini kita kutip beberapa prinsip-prinsip yang diucapkannya dalam pidatonya itu.

Pidato Abu Bakar

Setelah selesai Orang membaiat itu, Abu Bakar pun berpidatolah, sebagai sambutan atas kepercayaan Orang banyak kepada dirinya itu, penting dan ringkas : ‘Wahai Manusia, sekarang aku telah menjabat pekerjaan kami ini, tetapi tdaklah aku Orang yang lebih baik daripada kamu. Maka jika aku telah berlaku baik dalam jabatanku, dukunglah aku. Tetapi kalo aku bersalah, tegakkanlah aku kembali. Kejujuran adalah suatu amanat, kedusataan adalah suatu khianat. Orang yang kuat di antara kamu, pada sisiku hanyalah lemah, sehingga hak si lemah aku tarik daripadanya. Orang lemah di sisimu, pada sisiku kuat, sebab akan ku ambilkan daripada si kuat akn haknya, insya Allah. Taatlah kepadaku selama aku taat kepada Allah SWT dan rasulnya.

C. Pemerintahan Khalifah Abu Bakar

Dapat kita lihat bahwa pemerintahannya tidaklah menggunakan kekuasaan Tuhan sebagaimana Fir’aun dari mesir atau brntuk pemerintahan lain yang di kenal di Eropa Tengah. Abu Bakar tidaklah menggunakan kekuasaan Allah bagi dirinya, tetapi ia berkuasa atas dukungan Orang-orang yang membai’atnya.

Pada saat dibai’at, Abu Bakar dipanggil oleh seseorang dengan “Ya Khalifatullah”, maka ia memutus kata-kata orang itu dengan berseteru, “Aku bukan khalifah Allah tetapi khalifah Rasulullah SAW”.

Yang dimaksud dengan khalifah Rasulullah SAW tudak lain bahwa dia hanyalah pengganti Rasulullah SAW dalam memimpin muslimin serta mengarahkan kehidupan mereka agar tidak keluar dari batas-batas hokum Allah SWT, agar mereka melaksanakan perintah-perintah-Nya dan meninggalkan larangan-larangan-Nya. Menurutnya khalifah Allah hanyalah dikhususkan bagi Rasulullah SAW sehingga kedudukan itu tidak terpikirkan olehnya, sedangkan Rasulullah SAW adalah khatamul-anbiya’ wa al-mursalin. Kenabiannya tidaklah diwariskan kepada siapapun juga. Allah SWT telah memilihnya sebagai penyampai risalah-Nya, dan menurunkan kepadanya kitab yang benar. Dan telah disempurnakan bagi mukminin agama-Nya, juga nikmat-Nya atas mereka.

Sejak tumbuhnya dan dalam pelaksanannya, pemerintahan Abu Bakar sebenarnya bersifat Demokratis. Terpilihnya Abu Bakar adalah berdasarkan pemilihan umum. Ia di bai’at karena sifat dan kedudukannya di sisi Rasulullah SAW, bukan Karena keluarganya atau kefanatikan terhadap sukunya. Abu Bakar tidak minta agar dirinya dibai’at. Bahkan ia mencalonkan Umar bin Khattab dan Abu Ubaidah bin Jarraah agar kaum Muslimin membai’at salah satu dari keduanya Yang mereka inginkan. D. Administrasi dan Organisasi Pemerintaha Abu Bakar.

Pembagian tugas pemerintah kian hari semakin tampak kelihatan dan lebih nyata dari zaman pemerintahan Rasulullah, ketentuan pembagian tersebut adalah sebagai berikut :

a. Urusan Keuangan.

Urusan keuangan di pegang oleh Abu Ubaidah Amir bin jarrah yang mendapatkan nama julukan dari Rasulullah SAW “Orang kepercayaan Ummat”.

Menurut keterangan Al-Mukri bahwa yang mula-mula membentuk kas Negara atau baitullmall adalah Abu Bakar dan urusannya di serahkan kepada Abu Ubaidah Amir bin Jarrah. Kantor Baitulmall mula-mula terletak di kota Sunuh, satu batu dari Mesjid Nabawi dan tidak pernah di kawal. Pada suatu kali Orang berkata kepadanya, “Alangkah baiknya kalau Baitulmall di jaga dan di kawal”. Jawab Abu Bakar, “tak perlu karena di kunci”. Di kala Abu Bakar pindah kediamannya dekat Masjid Baitulmall atau kas Negara itu diletakkan di rumahnya sendiri. Tetapi boleh di katakana bahwa kas situ selalu kosong karena seluruh pembendaharaan yang datang langsung di bagi-bagi dan di pergunakan menurut perencanannya.

Sumber-sumber keuangan

Sumber-sumber keuangan yang utama di Zaman Abu Bakar adalah :

1.Zakat

2.Rampasan

3.Upeti

b. Urusan Kehakiman.

Sebagaiman kita ketahui bahwa Abu BAkar adalah seorang kepala Negara yang bertanggung jawab langsung (Presidentil Kabinet), maka pembantu-pembantunya (Menteri-menteri) adalah atas pertunjukannya sendiri. Dari itu untuk mengurus soal kehakiman di tunjuknyalah Umar bin Khattab.

Kaum Muslimin dan rakyat Madinah amat patuh kepada peraturan pemerintah yang di petik dari ajaran Agamanya. Soal Halal dan Haram, soal hak milik dan hubungan baik sesama Manusia adalah menjadi pedoman hidup mereka. Mereka tak membeda-bedakan antara peraturan pemerintah dan hukum Agama, bahkan mereka meyakinkan bahwa ajaran Agamalah yang melahirkan pemerintahan dan Negara Islam, seterusnya seluruh peraturan pemerintah diciptakan oleh syariat Islam. Berdasarka itu kepatuhan rakyat kepada hukum dan norma Islam adalah kepatuhan lahir dan batin yang betul-betul timbul dari hati sanubari dan keimanan.


Hal-hal yang Pertama kali Dilakukan Oleh Abu Bakar.

Diantaranya ialah : Dia Orang yang pertama kali masuk Islam, yang pertama kali menghimpun Al Qur’an, yang pertama kali menamakan Al Quran sebagai Mushaf. Dan dia juga adalah yang pertama kali dinamakan Khalifah.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Bakar bin Abi Mulaikah dia berkata, dikatakan kepada Abu Bakar : Wahai Khalifah Allah!Abu Bakar menjawab, “Saya Khalifah Rasulullah”, dan saya ridha dengannya.

Dia adalah Orang yang memangku jabatan Khalifah sedangkan Ayahnya masih hidup. Dia juga adalah Khalifah yang rakyatnya memberi dana.

E. Wafatnya Abu Bakar.

Wafatnya Abu Bakar pada tahun 13 H malam selasa, 7 Jumadil Akhir pada usia 63 tahun, dan kekhalifahannya berjalan selama 2 tahun 3 bulan dan 10 hari, dan dimakamkan di rumah ‘Aisyah disamping makam Nabi Muhammad SAW.

KESIMPULAN

Dengan keramahan dan kelembutannya Abu Bakar menerima ajakan dan ajaran Nabi Muhammad SAW dan bisa mengajak beberapa temannya untuk memeluk Islam.

Peran Abu Bakar dalam sejarah sangatlah menentukan sebab saat-saat itulah sejarah memasuki masa transisi dari kepemimpinan seorang Rasul ketangan manusia biasa. Disinilah letak spesifikasi Abu Bakar yang tak bisa disamai oleh pemeran sejarah lainnya.

Dengan ciri khasnya yang cerdas dan berkepribadian lembut, Abu Bakar menjadi “Aktor” paling tepat menghadapi periode kepemimpinan umat sepeninggal Rasulullah SAW. Periode ini sungguh sangat sulit dan rumit. Tetapi nampaknya isyarat pengkanderan “dirinya sebagai khalifatu-rasulillah telah dipersiapkan oleh zaman sejak awal. Peran-perannya sebagai imam shalat menggantikan tugas Rasulullah SAW penyerta hijrah Nabi dan pedamping setia sepak terjang Rasulullah, merupakan “ayat-ayat”akan perannya sebagai khalifatu-rasulillah



DAFTAR PUSTAKA


- Haikal, Muhammad husain; Biografi Abu Bakar Ah-shiddiq, Qishti Press, Jakarta : 2007;

- Hamka; Sejarah Umat Islam, Pustaka Nasional PTE LTD Singapura 1994;

- Assuyuthi; Tarikh Khulafa,Pustaka Al-kautsar, Jakarta : 2001;

- Thaha, Haji Nashruddin;Pemerintahan Abu Bakar, Mutiara Jakarta,Jakarta : 1979;

- Shalaby, Ahmad dkk, Sejarah Dan kebudayaan Islam, Pustaka Nasional PTE LTD Singapura : 1970;

- Ramadhan, sa’id, Fiqhussirrah Nabawiyah, Dar Al-Fikr,Beirut : 2003
File yang Berhubungan
Kisah Teladan

* ALI BIN ABI THALIB
* Ulama Nusantara
* Shafiyah binti Abdul Mutthalib
* Sa'ad Bin Abi Waqqash - Singa yang Menyembunyikan Kukunya
* Muawiyah Bin Abu Sofyan - Putera Panglima Qureisy
* Muaz bin Jabal
* Ka'ab bin Malik
* Ikrimah bin Abu Jahl
* Hudzaifah Ibnul Yaman
* Abu Thalhah al-Anshary
* Abbad bin Bisyr
* Abu Hurairah, Bapak Kucing Kecil
* Abu Darda
* 'Adi bin Hatim
* Abdullah bin Ummi Maktum
* Wali Songo Berasal dari Cina?
* Sirah Nabawiyah
* IMAM NAWAWI (631-676H)
* IBNU ‘ARABY
* JABIR BIN ABDILLAH AL-ANSHORY
* ABDULLAH BIN ABBAS
* SAYYIDAH AISYAH
* ABDULLAH BIN UMAR BIN AL-KHATTAB
* Mengenal Sastra Al-Qur'an
* Urutan Khilafah Sepanjang Sejarah Islam

sejarah peradaban islam masa abu bakar

SEJARAH PERADABAN ISLAM PADA MASA ABU BAKAR ASH SHIDDIQ

Dunia islam mulai menorehkan tinta emas dalam sejarahnya sejak Nabi Muhammad SAW melakukan hijrah dari Mekah ke Madinah. Rahasia terpilihnya peristiwa yang agung ini sebagai permulaan sejarah Islam adalah karena sejak saat itu anugerah kemenangan dari Allah SWT kepada Rasulnya-Nya mulai terlihat, yakni kemenangan terhadap orang-orang yang memerangi beliau di kota suci tersebut. Padahal sebenarnya seluruh tokoh kabilah Quraisy telah mengatur siasat untuk membunuh beliau. Satu-satunya sahabat yang menemani Rasulullah SAW dalam perjalanan hijrah ini, tidak lain adalah Abu Bakar ash-Shidiq. Tatkala beliau sedang menderita sakit menjelang wafatnya sehingga tidak kuat lagi menunaikan shalat berjamaah bersama kaum muslimin. Abu Bakar pulalah yang ditunjuk menggantikan beliau sebagai imam.

Pilihan Rasulullah SAW kepada Abu Bakar untuk menyertainya dalam perjalanan hijrah dan menggantikan kedudukannya menjadi imam dalam shalat berjamaah bukan tanpa alasan sama sekali. Abu Bakar adalah orang yang pertama yang menyatakan keimanannya kepada Allah dan Rasulnya. Pengorbanannya yang dilandasi oleh keimanan yang kokoh, telah banyak ia lakukan. Ia selalu siaga membela Nabi dalam berdakwah, sebagaimana pembelaanya terhadap kaum muslimin. Kepentingan Rasulullah SAW lebih diutamakan daripada kepentingan dirinya sendiri. Bahkan dalam segala situasi,ia selalu mendampingi perjuangan Nabi SAW. Kesempurnaan akhlaknya berpadu erat dengan kekuatan imannya. Tidak hanya itu Abu Bakar juga dikenal juga sebagai seorang hamba Allah yang memiliki sifat paling kasih sayang kepada manusia lainnya.

Dengan makalah ini kita dapat mengetahui sejarah singkat perkembangan dan kemajuan Islam di masa kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq yang meneruskan perjuanagan dakwah Islam setelah wafatnya Rasulullah SAW. Dengan demikian kita dapat mengetahui kedudukan dan derajat para sahabat Nabi Muhammad SAW

A. Kehidupan Abu Bakar

Abu Bakar dilahirkan dengan nama Abdullah ibn Abi Qahafah dari seorang ayah bernama Abu Qahafah yang semula bernama Utsman ibn Amir. Sedangkan ibunya bernama Ummu al-Khair yang semula bernama salma binti sakhr ibn Amir. Sebelum ia memeluk Islam , Ia mendapat julukan dengan nama Abdul Ka’bah. Setelah masuk Islam, ia diberi nama oleh Rasulullah SAW dengan sebutan Abdullah. Sebutan lain baginya adalah Atik (artinya lolos/lepas). Asal mula julukan namanya sebagai Abdul Ka’bah berawal dari kenyataan bahwa ibunya setiap melahirkan anak lelaki, pasti meninggal dunia. Begitu Abu Bakar lahir dan dikaruniai kehidupan, orang tuanya sangat gembira. Serta merta dijulukinya anak lelaki mereka dengan sebutan Abdul Ka’bah. Ketika anak itu tumbuh menjadi remaja, namanya bertambah dengan julukan Atik yang menandakan seolah-olah ia lepas dari kematian. Tetapi menurut para Ahli Sejarah, “Atik”, bukanlah nama baginya, melainkan sekedar julukan karena kulitnya yang putih bersih. Di dalam riwayat lainnya, dikisahkan bahwa Aisyah putrinya pernah ditanya mengapa ayahnya diberi nama Atik. Aisyah lalu menceritakan bahwa pada suatu saat Rasulullah pernah melihat kepada Abu Bakar sambil berkata: “Inilah Atik Allah dari api neraka”. Dalam kesempatan lainnya, Abu Bakar datang kehadapan Rasulullah SAW bersama para sahabat lainnya Begitu melihat Abu Bakar, beliau berkata: ”Barang siapa orang yang senang melihat kepada orang yang lolos (Atik) dari api neraka, maka lihatlah kepadanya (Abu Bakar)”.

Sejak kecil Abu Bakar hidup seperti layaknya anak-anak lainnya di kota Mekah. Tatkala usianya menginjak masa dewasa, dia berdagang sebagai penjual kain. Sebagai seorang pedagang kain, Abu Bakar sangat berhasil dalam usahanya. Pada awal mudanya ia menikah dengan Kutailah binti Abdul Uza. Perkawinan ini membuahkan ketirunan Abdullah dan Asma. Kelak setelah masuk Islam. Dan perkawinannya dengan Ummu Ruman binti Uwaimir, Abu Bakar memperoleh dua orang anak, yaitu Abdurrahman dan Aisyah. Ketika berada di Madinah, Abu Bakar dengan Habibah binti Kharijah serta Asma Binti Umais. Dari istrinya yang terakhir ini, Abu Bakar dikaruniai seorang anak, yaitu Muhammad. Tidak hanya itu, dagangan Abu Bakar pun sangat maju dan memperoleh keuntungan sangat besar. Keberhasilan usaha dagangnya, barangkali di sebabkan oleh kepribadian dan akhlaknya yang mulia, sehingga sangat disenangi orang.

- Hubungannya dengan Nabi Muhammad SAW

Tempat tinggal Abu Bakar terletak di daerah pemukiman pedagang Quraisy yang kaya. Dari daerah itulah para pedagang Quraisy biasa mengirimkan barang dagangannya yang akan dijual di daerah Syam dan Yaman. Khadijah binti khuwailid yang kelak akan menjadi istri Nabi SAW juga tinggal di daerah tersebut. Karena tempat tinggal mereka berdekatan Abu Bakar menjalin persahabatan dengan Muhammad SAW setelah beliau menikah dengan khadijah dan menempati rumah istrinya itu. Usianya lebih muda dari usia Muhammad SAW, sekitar dua tahun lebih beberrapa bulan. Barangkali karena kesetaraan usia dan usaha dagangnya, Abu Bakar lebih memiliki keserasian dalam hal akhlak dan ketenangan jiwa dengan Rasulullah SAW. Demikian pula dengan keinginannya untuk meninggalkan adat-istiadat dan kepercayaan suku Quraisy.

Keserasian antara Abu Bakar dan Muhammad SAW yang menbersitkan nilai keabadian itu menimbulkan perbedaan pendapat pendapat para ahli sejarah mengenai jangka waktu persahabatan mereka. Sebagaian dari mereka menyebutlan bahwa persahabatan mereka telah terjadi jauh sebelum Muhammad diutus sebagai Nabi-Nya. Sedangkan pendapat lainyya menyebutkan bahwa persahabatan mereka dimulai sejak Muhammad SAW diangkat sebagai Rasul. Sebab hubungan mereka sebelumnya hanyalah merupakan hubungan ketetanggaan dan persamaan kepribadian. Sebelum Muhammad diutus oleh Allah SWT, beliau suka mnyendiri dengan menjauhi pergaulan orang-orang Quraisy yang dinilai sesat. Maka tatkala beliau diuts oleh Allah SWT +untuk menyampaikan risalah, ingatan beliau tertuju kepada Abu Bakar yang cerdas itu. Wahyu Allah yang baru diterimanya, beliau sampaikan kepada Abu Bakar. Diajaknya Abu Bakar untuk mengikuti agama Allah SWT yang Mahatunggal dan Mahakuasa. Tanpa berpikir panjang Abu Bakar langsung menerima ajakan Muhammad SAW itu. Hatinya tidak pernah ragu menerima seruan sahabatnya. Sejak saat itulah jalinan hubungan antara keduanya mulai berjalan erat. Persahabatan itu bertambah kokoh karena kesungguhan dan kejujuran Abu Bakar dalam memegang keimanan kepada Muhammad SAW beserta Risalah yang dibawanya. Mengenai hal itu, Aisyah menuturkan: “sejak aku dewasa, aku mulai tahu bahwa kedua orangtuaku telah beragama Islam. Tidak pernah seharipun terlewati kecuali Rasulullah SAW datang pagi dan sore hari”.

Karena pergaulannya yang luas ditambah dengan keramah-tamahannya, Abu Bakar mampu mengajak orang lain untuk mengikuti jejaknya untuk memeluk agam Allah SWT, Berkat ajakannya beberapa orang kemudian masuk islam . Mereka antara lain adalah Abdurrahman ibn Auf, Utsman ibn Affan, Thalhah ibn Ubaidillah, Sa’ad ibn Abi Waqqash dan Zubair ibn Awwam. Menyusul kemudian Abu Ubaidah ibn Jarrah serta beberapa orang penduduk Mekah lainnya.


B. Pembaitan Abu Bakar

Sesudah Rasulullah wafat,kaum Ansar menghendaki agar orang yang akan jadi Khalifah dipilih dari kalangan mereka.Dalam pada itu Ali bin Abi Talib menginginkan agar beliaulah yang diangkat menjadi Khalifah, berdasarkan kedudukan beliau dalam Islam, apalagi beliau adalah menantu dan karib Nabi SAW. Tetapi bahagian terbanyak dari kaum Muslimin menghendaki Abu bakar, maka dipilihlah beliau jadi Khalifah,Orang-orang yang tadinya untuk memberikan bai’at kepada Abu bakar pun turut jejak langkah golongan terbanyak dari kaum Muslimin dan segera pula memberikan baiatnya.

Sesudah Abu Bakar dilantik menjadi Khalifah , beliau pun berpidato. Dalam pidatonya itu dijelaskan nya siasah pemerintahan yang akan belau jalankan. Dibawah ini kita kutip beberapa prinsip-prinsip yang diucapkannya dalam pidatonya itu.

Pidato Abu Bakar

Setelah selesai Orang membaiat itu, Abu Bakar pun berpidatolah, sebagai sambutan atas kepercayaan Orang banyak kepada dirinya itu, penting dan ringkas : ‘Wahai Manusia, sekarang aku telah menjabat pekerjaan kami ini, tetapi tdaklah aku Orang yang lebih baik daripada kamu. Maka jika aku telah berlaku baik dalam jabatanku, dukunglah aku. Tetapi kalo aku bersalah, tegakkanlah aku kembali. Kejujuran adalah suatu amanat, kedusataan adalah suatu khianat. Orang yang kuat di antara kamu, pada sisiku hanyalah lemah, sehingga hak si lemah aku tarik daripadanya. Orang lemah di sisimu, pada sisiku kuat, sebab akan ku ambilkan daripada si kuat akn haknya, insya Allah. Taatlah kepadaku selama aku taat kepada Allah SWT dan rasulnya.

C. Pemerintahan Khalifah Abu Bakar

Dapat kita lihat bahwa pemerintahannya tidaklah menggunakan kekuasaan Tuhan sebagaimana Fir’aun dari mesir atau brntuk pemerintahan lain yang di kenal di Eropa Tengah. Abu Bakar tidaklah menggunakan kekuasaan Allah bagi dirinya, tetapi ia berkuasa atas dukungan Orang-orang yang membai’atnya.

Pada saat dibai’at, Abu Bakar dipanggil oleh seseorang dengan “Ya Khalifatullah”, maka ia memutus kata-kata orang itu dengan berseteru, “Aku bukan khalifah Allah tetapi khalifah Rasulullah SAW”.

Yang dimaksud dengan khalifah Rasulullah SAW tudak lain bahwa dia hanyalah pengganti Rasulullah SAW dalam memimpin muslimin serta mengarahkan kehidupan mereka agar tidak keluar dari batas-batas hokum Allah SWT, agar mereka melaksanakan perintah-perintah-Nya dan meninggalkan larangan-larangan-Nya. Menurutnya khalifah Allah hanyalah dikhususkan bagi Rasulullah SAW sehingga kedudukan itu tidak terpikirkan olehnya, sedangkan Rasulullah SAW adalah khatamul-anbiya’ wa al-mursalin. Kenabiannya tidaklah diwariskan kepada siapapun juga. Allah SWT telah memilihnya sebagai penyampai risalah-Nya, dan menurunkan kepadanya kitab yang benar. Dan telah disempurnakan bagi mukminin agama-Nya, juga nikmat-Nya atas mereka.

Sejak tumbuhnya dan dalam pelaksanannya, pemerintahan Abu Bakar sebenarnya bersifat Demokratis. Terpilihnya Abu Bakar adalah berdasarkan pemilihan umum. Ia di bai’at karena sifat dan kedudukannya di sisi Rasulullah SAW, bukan Karena keluarganya atau kefanatikan terhadap sukunya. Abu Bakar tidak minta agar dirinya dibai’at. Bahkan ia mencalonkan Umar bin Khattab dan Abu Ubaidah bin Jarraah agar kaum Muslimin membai’at salah satu dari keduanya Yang mereka inginkan. D. Administrasi dan Organisasi Pemerintaha Abu Bakar.

Pembagian tugas pemerintah kian hari semakin tampak kelihatan dan lebih nyata dari zaman pemerintahan Rasulullah, ketentuan pembagian tersebut adalah sebagai berikut :

a. Urusan Keuangan.

Urusan keuangan di pegang oleh Abu Ubaidah Amir bin jarrah yang mendapatkan nama julukan dari Rasulullah SAW “Orang kepercayaan Ummat”.

Menurut keterangan Al-Mukri bahwa yang mula-mula membentuk kas Negara atau baitullmall adalah Abu Bakar dan urusannya di serahkan kepada Abu Ubaidah Amir bin Jarrah. Kantor Baitulmall mula-mula terletak di kota Sunuh, satu batu dari Mesjid Nabawi dan tidak pernah di kawal. Pada suatu kali Orang berkata kepadanya, “Alangkah baiknya kalau Baitulmall di jaga dan di kawal”. Jawab Abu Bakar, “tak perlu karena di kunci”. Di kala Abu Bakar pindah kediamannya dekat Masjid Baitulmall atau kas Negara itu diletakkan di rumahnya sendiri. Tetapi boleh di katakana bahwa kas situ selalu kosong karena seluruh pembendaharaan yang datang langsung di bagi-bagi dan di pergunakan menurut perencanannya.

Sumber-sumber keuangan

Sumber-sumber keuangan yang utama di Zaman Abu Bakar adalah :

1.Zakat

2.Rampasan

3.Upeti

b. Urusan Kehakiman.

Sebagaiman kita ketahui bahwa Abu BAkar adalah seorang kepala Negara yang bertanggung jawab langsung (Presidentil Kabinet), maka pembantu-pembantunya (Menteri-menteri) adalah atas pertunjukannya sendiri. Dari itu untuk mengurus soal kehakiman di tunjuknyalah Umar bin Khattab.

Kaum Muslimin dan rakyat Madinah amat patuh kepada peraturan pemerintah yang di petik dari ajaran Agamanya. Soal Halal dan Haram, soal hak milik dan hubungan baik sesama Manusia adalah menjadi pedoman hidup mereka. Mereka tak membeda-bedakan antara peraturan pemerintah dan hukum Agama, bahkan mereka meyakinkan bahwa ajaran Agamalah yang melahirkan pemerintahan dan Negara Islam, seterusnya seluruh peraturan pemerintah diciptakan oleh syariat Islam. Berdasarka itu kepatuhan rakyat kepada hukum dan norma Islam adalah kepatuhan lahir dan batin yang betul-betul timbul dari hati sanubari dan keimanan.


Hal-hal yang Pertama kali Dilakukan Oleh Abu Bakar.

Diantaranya ialah : Dia Orang yang pertama kali masuk Islam, yang pertama kali menghimpun Al Qur’an, yang pertama kali menamakan Al Quran sebagai Mushaf. Dan dia juga adalah yang pertama kali dinamakan Khalifah.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Bakar bin Abi Mulaikah dia berkata, dikatakan kepada Abu Bakar : Wahai Khalifah Allah!Abu Bakar menjawab, “Saya Khalifah Rasulullah”, dan saya ridha dengannya.

Dia adalah Orang yang memangku jabatan Khalifah sedangkan Ayahnya masih hidup. Dia juga adalah Khalifah yang rakyatnya memberi dana.

E. Wafatnya Abu Bakar.

Wafatnya Abu Bakar pada tahun 13 H malam selasa, 7 Jumadil Akhir pada usia 63 tahun, dan kekhalifahannya berjalan selama 2 tahun 3 bulan dan 10 hari, dan dimakamkan di rumah ‘Aisyah disamping makam Nabi Muhammad SAW.

KESIMPULAN

Dengan keramahan dan kelembutannya Abu Bakar menerima ajakan dan ajaran Nabi Muhammad SAW dan bisa mengajak beberapa temannya untuk memeluk Islam.

Peran Abu Bakar dalam sejarah sangatlah menentukan sebab saat-saat itulah sejarah memasuki masa transisi dari kepemimpinan seorang Rasul ketangan manusia biasa. Disinilah letak spesifikasi Abu Bakar yang tak bisa disamai oleh pemeran sejarah lainnya.

Dengan ciri khasnya yang cerdas dan berkepribadian lembut, Abu Bakar menjadi “Aktor” paling tepat menghadapi periode kepemimpinan umat sepeninggal Rasulullah SAW. Periode ini sungguh sangat sulit dan rumit. Tetapi nampaknya isyarat pengkanderan “dirinya sebagai khalifatu-rasulillah telah dipersiapkan oleh zaman sejak awal. Peran-perannya sebagai imam shalat menggantikan tugas Rasulullah SAW penyerta hijrah Nabi dan pedamping setia sepak terjang Rasulullah, merupakan “ayat-ayat”akan perannya sebagai khalifatu-rasulillah



DAFTAR PUSTAKA


- Haikal, Muhammad husain; Biografi Abu Bakar Ah-shiddiq, Qishti Press, Jakarta : 2007;

- Hamka; Sejarah Umat Islam, Pustaka Nasional PTE LTD Singapura 1994;

- Assuyuthi; Tarikh Khulafa,Pustaka Al-kautsar, Jakarta : 2001;

- Thaha, Haji Nashruddin;Pemerintahan Abu Bakar, Mutiara Jakarta,Jakarta : 1979;

- Shalaby, Ahmad dkk, Sejarah Dan kebudayaan Islam, Pustaka Nasional PTE LTD Singapura : 1970;

- Ramadhan, sa’id, Fiqhussirrah Nabawiyah, Dar Al-Fikr,Beirut : 2003
File yang Berhubungan
Kisah Teladan

* ALI BIN ABI THALIB
* Ulama Nusantara
* Shafiyah binti Abdul Mutthalib
* Sa'ad Bin Abi Waqqash - Singa yang Menyembunyikan Kukunya
* Muawiyah Bin Abu Sofyan - Putera Panglima Qureisy
* Muaz bin Jabal
* Ka'ab bin Malik
* Ikrimah bin Abu Jahl
* Hudzaifah Ibnul Yaman
* Abu Thalhah al-Anshary
* Abbad bin Bisyr
* Abu Hurairah, Bapak Kucing Kecil
* Abu Darda
* 'Adi bin Hatim
* Abdullah bin Ummi Maktum
* Wali Songo Berasal dari Cina?
* Sirah Nabawiyah
* IMAM NAWAWI (631-676H)
* IBNU ‘ARABY
* JABIR BIN ABDILLAH AL-ANSHORY
* ABDULLAH BIN ABBAS
* SAYYIDAH AISYAH
* ABDULLAH BIN UMAR BIN AL-KHATTAB
* Mengenal Sastra Al-Qur'an
* Urutan Khilafah Sepanjang Sejarah Islam

Minggu, 14 Maret 2010

A. Pendahuluan
Al-Qur’an merupakan sumber pendidikan dan ilmu pengetahuan yang mengajarkan manusia dengan bahasanya yang lemah lembut, balaghoh yang indah, sehingga al-Qur’an membawa dimensi baru terhadap pendidikan dan berusaha mengajak para ilmuwan untuk menggali maksud kandungannya agar manusia lebih dekat kepada-Nya.
Petunjuk pendidikan dalam al-Qur’an tidak terhimpun dalam kesatuan pragmen tetapi ia diungkapkan dalam berbagai ayat dan surat al-Qur’an, sehingga untuk menjelaskannya perlu melalui tema-tema pembahasan yang relevan dan ayat-ayat yang memberikan informasi-informasi pendidikan yang dimaksud.
Al-Qur’an mengintroduksikan dirinya sebagai pemberi petunjuk kepada jalan yang lebih lurus (Q.S. Al-Israa: 19)
وَمَنْ أَرَادَ الآخِرَةَ وَسَعَى لَهَا سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِن ٌ فَأُوْلَائِكَ كَانَ سَعْيُهُمْ مَشْكُورا ً
“Dan berapa banyaknya kaum sesudah Nuh telah Kami binasakan. Dan cukupkan Tuhanmu Maha Mengetahui lagi Maha Melihat dosa hamba-hamba-Nya.”
Petunjuk-petunjuknya bertujuan memberi kesejahteraan dan kebahagiaan bagi manusia, baik secara pribadi maupun kelompok, dan karena itu ditemukan petunjuk-petunjuk bagi manusia dalam kedua bentuk tersebut.
Muhammad Rasulullah dipandang sukses dalam mendidik masyarakatnya menjadi masyarakat yang berbudi tinggi dan akhlak mulia. Pada mulanya masyarakat Arab adalah masyarakat jahiliyah, sehingga perkataan primitif tidak cukup untuk menggambarkannya, hingga datang Rasulullah yang membawa mereka untuk meninggalkan kejahiliahan tersebut dan mencapai suatu bangsa yang berbudaya dan berkepribadian yang tinggi, bermoral serta memberi pengetahuan.
Al-Qur’an memberi petunjuk atau arah, jalan yang lurus mencapai kebahagiaan bagi manusia, sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 16:

يَهْدِي بِهِ اللَّهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَه ُُ سُبُلَ السَّلاَمِ وَيُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِه ِِ وَيَهْدِيهِمْ إِلَى صِرَاط ٍ مُسْتَقِيم

“Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.”
Nabi Muhammad Saw sebagai utusan Allah untuk manusia di bumi ini di beri kuasa oleh Allah sebagai penerima wahyu, yang diberi tugas untuk mensucikan dan mengajarkan manusia sebagaimana dalam surat al-Baqarah ayat 151. Dalam ayat tersebut mensucikan diartikan dengan mendidik, sedang mengajar tidak lain kecuali mengisi benak anak didik dengan pengetahuan yang berkaitan dan metafisika dan fisika.
Tujuan yang ingin dicapai dengan pembacaan, penyucian dan pengajaran tersebut adalah pengabdian kepada Allah, sejalan dengan tujuan penciptaan manusia dalam surat Al-Dzariyat(51) ayat 56:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإِنسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”
Maksudnya Allah tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menjadikan tujuan akhir atau hasil segala aktivitasnya sebagai pengabdian kepada Allah (M. Quraish Shihab, 1994: 172).
Pada makalah ini akan dibahas konsep pendidikan menurut Al-Qur’an yang akan mencoba menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan konsep pendidikan yaitu dalam surat Al-Baqarah ayat 31-34, surat Al-Baqarah ayat 129 dan 151, dan surat Luqman ayat 13-14.


prince_darkness:
B. Pengertian Konsep dan Pendidikan
Konsep berasal dari bahasa Inggris “concept” yang berarti “ide yang mendasari sekelas sesuatu objek”,dan “gagasan atau ide umum”. Kata tersebut juga berarti gambaran yang bersifat umum atau abstrak dari sesuatu (A.S. Hornby, A.P. Cowie (Ed), 1974: 174)
Dalam kamus Bahasa Indonesia, konsep diartikan dengan (1) rancangan atau buram surat tersebut. (2) Ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkrit (3) gambaran mental dari objek, proses ataupun yang ada diluar bahasa yang digunakan untuk memahami hal- hal lain (Tim Penyusun, 1989: 456).
Sedangkan pengertian pendidikan menurut Mohamad Natsir adalah suatu pimpinan jasmani dan ruhani menuju kesempurnaan kelengkapan arti kemanusiaan dengan arti sesungguhnya (Mohamad Natsir, 1954: 87).
Menurut Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Bab 1 ayat 1, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. (UU Sisdiknas no. 20 th. 2003)
Kemudian pengertian pendidikan Islam antara lain menurut Dr. Yusuf Qardawi sebagaimana dikutip Azyumardi Azra memberi pengertian pendidikan Islam yaitu pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan keterampilannya. Karena pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup dan menyiapkan untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis pahitnya (Azyumardi Azra, 2000: 5)
Endang Saefuddin Anshari memberi pengertian secara lebih tehnis, pendidikan Islam sebagai proses bimbingan (pimpinan, tuntunan dan usulan) oleh subyek didik terhadap perkembangan jiwa (pikiran, perasaan, kemauan, intuisi), dan raga obyek didik dengan bahan-bahan materi tertentu, pada jangka waktu tertentu, dengan metode tertentu dan dengan alat perlengkapan yang ada ke arah terciptanya pribadi tertentu disertai evaluasi sesuai ajaran Islam (Endang Saefuddin,1976: 85) Pendidikan Islam adalah suatu proses pembentukan individu berdasarkan ajaran-ajaran Islam yang diwahyukan Allah SWT kepada Muhammad Saw (Azyumardi Azra, 1998: 5)
Sedangkan menurut hasil rumusan Seminar Pendidikan Islam se-Indonesia tahun 1960, memberikan pengertian pendidikan Islam sebagai: “bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam.”(Muzayyin Arifin, 2003: 15)
Berdasarkan beberapa pengertian diatas, terdapat perbedaan antara pengertian pendidikan secara umum dengan pendidikan Islam. Pendidikan secara umum merupakan proses pemindahan nilai-nilai budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Perbedaan tersebut dalam hal nilai-nilai yang dipindahkan (diajarkan). Dalam pendidikan Islam, nilai-nilai yang dipindahkan berasal dari sumber-sumber nilai Islam yakni Al-Qur’an, Sunah dan Ijtihad.
Jadi, pendidikan Islam merupakan proses bimbingan baik jasmani dan rohani berdasarkan ajaran-ajaran agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian muslim sesuai dengan ukuran-ukuran Islam.


prince_darkness:
C. Konsep Pendidikan Menurut Al-Qur’an
Merujuk kepada informasi al-Qur’an pendidikan mencakup segala aspek jagat raya ini, bukan hanya terbatas pada manusia semata, yakni dengan menempatkan Allah sebagai Pendidik Yang Maha Agung. Konsep pendidikan al-Qur’an sejalan dengan konsep pendidikan Islam yang dipresentasikan melalui kata tarbiyah, ta’lim dan ta’dib.
Tarbiyah berasal dari kata Robba, pada hakikatnya merujuk kepada Allah selaku Murabby (pendidik) sekalian alam. Kata Rabb (Tuhan) dan Murabby (pendidik) berasal dari akar kata seperti termuat dalam ayat al-Qur’an:
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرا ً
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". (Q.S. Al-Israa:24)
Menurut Syed Naquib Al-Attas, al-tarbiyah mengandung pengertian mendidik, memelihara menjaga dan membina semua ciptaan-Nya termasuk manusia, binatang dan tumbuhan (Jalaluddin, 2003: 115). Sedangkan Samsul Nizar menjelaskan kata al-tarbiyah mengandung arti mengasuh, bertanggung jawab, memberi makan, mengembangkan, memelihara, membesarkan, menumbuhkan dan memproduksi baik yang mencakup kepada aspek jasmaniah maupun rohaniah (Samsul Nizar, 2001, 87).
Kata Rabb di dalam Al-Qur’an diulang sebanyak 169 kali dan dihubungkan pada obyek-obyek yang sangat banyak. Kata Rabb ini juga sering dikaitkan dengan kata alam, sesuatu selain Tuhan. Pengkaitan kata Rabb dengan kata alam tersebut seperti pada surat Al-A’raf ayat 61:
قَالَ يَاقَوْمِ لَيْسَ بِي ضَلاَلَة ٌ وَلَكِنِّي رَسُول ٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“ Nuh menjawab: Hai kaumku, tak ada padaku kesesatan sedikitpun tetapi aku adalah utusan Tuhan semesta alam.”
Pendidikan diistilahkan dengan ta’dib, yang berasal dari kata kerja “addaba” . Kata al-ta’dib diartikan kepada proses mendidik yang lebih tertuju pada pembinaan dan penyempurnaan akhlak atau budi pekerti peserta didik (Samsul Nizar, 2001: 90). Kata ta’dib tidak dijumpai langsung dalam al-Qur’an, tetapi pada tingkat operasional, pendidikan dapat dilihat pada praktek yang dilakukan oleh Rasulullah. Rasul sebagai pendidik agung dalam pandangan pendidikan Islam, sejalan dengan tujuan Allah mengutus beliau kepada manusia yaitu untuk menyempurnakan akhlak (Jalaluddin, 2003: 125). Allah juga menjelaskan, bahwa sesungguhnya Rasul adalah sebaik-baik contoh teladan bagi kamu sekalian.
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَة ٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرا
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”(Q.S. Al-Ahzab, 21)
Selanjutnya Rasulullah Saw meneruskan wewenang dan tanggung jawab tersebut kepada kedua orang tua selaku pendidik kodrati. Dengan demikian status orang tua sebagai pendidik didasarkan atas tanggung jawab keagamaan, yaitu dalam bentuk kewajiban orang tua terhadap anak, mencakup memelihara dan membimbing anak, dan memberikan pendidikan akhlak kepada keluarga dan anak-anak.
Pendidikan disebut dengan ta’lim yang berasal dari kata ‘alama berkonotasi pembelajaran yaitu semacam proses transfer ilmu pengetahuan. Dalam kaitan pendidikan ta’lim dipahami sebagai sebagai proses bimbingan yang dititikberatkan pada aspek peningkatan intelektualitas peserta didik (Jalaluddin, 2003: 133). Proses pembelajaran ta’lim secara simbolis dinyatakan dalam informasi al-Qur’an ketika penciptaan Adam As oleh Allah Swt. Adam As sebagai cikal bakal dari makhluk berperadaban (manusia) menerima pemahaman tentang konsep ilmu pengetahuan langsung dari Allah Swt, sedang dirinya (Adam As) sama sekali kosong. Sebagaimana tertulis dalam surat al-Baqarah ayat 31 dan 32:
وَعَلَّمَ آدَمَ الأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلاَئِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَاؤُلاَء إِنْ كُنتُمْ صَادِقِينَ
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar.”
قَالُوا سُبْحَانَكَ لاَ عِلْمَ لَنَا إِلاَّ مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ
“ Mereka menjawab, “Maha suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Dari ketiga konsep diatas, terlihat hubungan antara tarbiyah, ta’lim dan ta’dib. Ketiga konsep tersebut menunjukkan hubungan teologis (nilai tauhid) dan teleologis (tujuan) dalam pendidikan Islam sesuai al-Qur’an yaitu membentuk akhlak al-karimah


prince_darkness:
a. Ayat-ayat lain yang berhubungan dengan pendidikan
1. Surat al-Baqarah ayat 129
رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولا ً مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

“ Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab (Al-Qur’an) dan hikmah serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
2. Surat al-Baqarah ayat 151
كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولا ً مِنْكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ

“Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu), Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu al-Kitab dan hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.”
3. Surat Luqman ayat 13
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِه ِِ وَهُوَ يَعِظُه ُُ يَابُنَيَّ لاَ تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيم

“Dan ingatlah ketika luqman berkata kepada anaknya, diwaktu ia memberi pelajaran kepadanya: Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kedzaliman yang besar.”
4. Surat Luqman ayat 14
وَوَصَّيْنَا الإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّه ُُ وَهْنا ً عَلَى وَهْن ٍ وَفِصَالُه ُُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang tua (ibu bapaknya); ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku, dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.”


prince_darkness:
b. Tafsir surat al-Baqarah ayat 31-34
Penjelasan dari ayat diatas, makna Dia yakni Allah mengajar Adam nama-nama benda seluruhnya, yakni memberinya potensi pengetahuan tentang nama-nama atau kata-kata yang digunakan menunjuk benda-benda, atau mengajarkannya mengenal fungsi benda-benda.
Ayat ini menginformasikan bahwa manusia dianugerahi potensi untuk mengetahui nama atau fungsi dan karakteristik benda-benda, misalnya fungsi api, fungsi angin dan sebagainya. Dia juga dianugerahi potensi untuk berbahasa. Sistem pengajaran bahasa kepada manusia (anak-anak) bukan dimulai dengan mengajarkan kata kerja, tetapi mengajarnya terlebih dahulu nama-nama (yang mudah), seperti ini papa, ini mama, itu pena, itu pensil dan sebagainya. Itulah sebagian makna yang dipahami oleh para ulama dari firman-Nya: Dia mengajar Adam nama-nama (benda) seluruhnya.(M.Quraish Shihab, vol.1, 2002: 146)
Bagi ulama-ulama yang memahami pengajaran nama-nama kepada Adam As, dalam arti mengajarkan kata-kata, diantara mereka ada yang berpendapat bahwa kepada beliau dipaparkan benda-benda itu, dan pada saat yang sama beliau mendengar suara yang menyebut nama benda yang dipaparkan itu. Ada juga yang berpendapat bahwa Allah mengilhamkan kepada Adam As nama benda itu pada saat dipaparkannya sehingga beliau memiliki kemampuan untuk memberi kepada masing-masing benda nama-nama yang membedakannya dari benda-benda yang lain. Pendapat ini lebih baik dari pendapat pertama. Ia pun tercakup oleh kata mengajar karena mengajar tidak selalu dimaknakan menyampaikan suatu kata atau idea, tetapi dapat juga berarti mengasah potensi yang dimilki peserta didik sehingga pada akhirnya potensi itu terasah dan dapat melahirkan aneka pengetahuan.
Apapun tafsiran ayat tersebut, namun yang pasti salah satu keistimewaan manusia adalah kemampuannya mengekspresikan apa yang terlintas dalam benaknya serta kemampuannya menangkap bahasa sehingga mengantarkannya untuk mengetahui. Kemampuan manusia merumuskan idea dan memberi nama bagi segala sesuatu merupakan langkah menuju terciptanya manusia berpengetahuan dan lahirnya ilmu pengetahuan.(M. Quraish Shihab, vol.1,2002, 147)
Kata al-‘alim terambil dari akar kata ‘ilm berarti menjangkau sesuatu sesuai dengan keadaannya yang sebenarnya. Bahasa Arab menggunakan semua kata yang tersusun dari huruf ‘ain, lam dan mim dalam berbagai bentuknya untuk menggambarkan sesuatu yang sedemikian jelas sehingga tidak menimbulkan keraguan. Allah Swt menamai dirinya “alim karena pengetahuan-Nya yang amat jelas sehingga terungkap baginya hal-hal yang sekecil-kecilnya apapun.
Pengetahuan semua makhluk bersumber dari pengetahuan-Nya. “Allah mengetahui apa-apa yang dihadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya.” (Q.S. al-Baqarah, 255)
Melalui informasi ayat diatas, diketahui bahwa pengetahuan yang dianugerahkan Allah Swt kepada Adam As, atau potensi untuk mengetahui segala sesuatu dari benda-benda dan fenomena alam merupakan bukti kewajaran Adam As menjadi khalifah di muka bumi ini.
Kekhalifahan di bumi adalah kekhalifahan yang bersumber dari Allah Swt, yang antara lain bermakna melaksanakan apa yang dikehendaki Allah menyangkut bumi ini. Dengan demikian pengetahuan atau potensi yang dianugerahkan Allah itu merupakan syarat sekaligus modal utama untuk mengelola bumi ini. Tanpa pengetahuan atau pemanfaatan potensi berpengetahuan, maka tugas kekhalifahan manusia akan gagal, walau dia tekun beribadah kepada Allah Swt, serupa dengan sujud dan ketaatan malaikat. Akhirnya, Allah Swt, bermaksud menegaskan bahwa bui tidak dikelola semata-mata hanya dengan tasbih dan tahmid tetapi dengan amal ilmiah dan ilmu amaliyah.

c. Tafsir surat Al-Baqarah ayat 129 dan ayat 151
Adapun surat al-Baqarah ayat 129 memuat tentang do’a nabi Ibrahim As supaya Allah menurunkan di kalangan anak cucu keturunannya seorang Rasul yang menyampaikan pokok-pokok pendidikan dan pengajaran agar mereka kembali kepada kesuciannya. Dan Rasul yang dimaksud adalah Nabi Muhammad Saw, beliau membawa petunjuk pendidikan dan pengajaran untuk dapat mereka pedomani dalam kehidupannya.
Rasul yang domohonkan (Nabi Muhammad Saw) bertugas untuk terus membacakan kepada umatnya ayat-ayat Allah baik berupa wahyu yang diturunkan, maupun alam raya yang diciptakan, dan terus mengajarkan kepada mereka kandungan al-Kitab yaitu al-Qur’an, atau tulis baca, dan al-Hikmah yakni Sunnah, atau kebijakan dan kemahiran melaksanakan hal yang mendatangkan manfaat serta menampik mudharat, serta mensucikan jiwa umatnya dari segala macam kotoran, kemunafikan, dan penyakit-penyakit jiwa (M.Quraish Shihab,Vol.1, 2002:327)
Hal-hal yang dimohonkan Nabi Ibrahim diatas, mempunyai keserasian perurutannya. Dimulai dengan permohonan kehadiran rasul yang menyampaikan tuntunan Allah, yakni membacakan Al-Qur’an, selanjutnya permohonan untuk mengajarkan makna dan pesan-pesanya, kemudian pengetahuan yang menghasilkan kesucian jiwa, melalui pengamalan sesuai dengan tuntunan Allah Swt (M.Quraish Shihab,Vol.1, 2002: 328)
Terdapat banyak kaitan antara kandungan ayat 129 dan ayat 151. Pada ayat 151 menyucikan ditempatkan pada peringkat kedua dari lima macam anugerah Allah dalam konteks memperkenankan do’a Nabi Ibrahim, yaitu: Rasul dari kelompok mereka, membacakan ayat-ayat Allah, menyucikan mereka, mengajarkan al-Kitab dan al-Hikmah, mengajarkan apa yang mereka belum ketahui.
Kalimat mengajarkan apa yang belum mereka ketahui merupakan nikmat tersendiri, mencakup banyak hal dan melalui berbagai cara. Sejak awal diturunkannya al-Qur’an telah mengisyaratkan dalam wahyu pertama (iqra’) bahwa ilmu yang dperoleh manusia diraih dengan dua cara, pertama melalui upaya belajar mengajar dan yang kedua anugerah langsung dari Allah berupa ilham dan intuisi.(M. Quraish Shihab, vol,1, 2002, 361).


prince_darkness:
d. Tafsir surat Luqman ayat 13-14.
Dari ayat tersebut Allah menjelaskan cara menetapkan aqidah kepada anak, bertauhid, mengesakan Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu selain Allah. Masalah tauhid dikaitkan dengan hubungan antara orang tua dan anak. Allah mengingatkan betapa penting dan dominan peran orang tua dalam menanamkan nilai-nilai tauhid dalam diri anak-anak.
Pendidikan dalam ayat tersebut sejalan dengan konsep pendidikan tarbiyah yang menitikberatkan pada pelaksanaan nilai-nilai Ilahiyat yang bersumber dari Allah selaku Rabb al-‘Alamin. Dalam hubungan anatar manusia, tugas penyampaian nilai-nilai ajaran itu dibebankan kepada orang tua, sedangkan para pendidik tak lebih hanyalah sebagai tenaga professional yang mengemban tugas berdasarkan keparcayaan para orang tua.
Secara garis besar nasehat dalam ayat tersebut berisi tentang hal-hal berikut, (Jalaluddin, 2003: 121):
1. Masalah ketauhidan, yaitu larangan menyekutukan Allah. Walaupun seandainya perintah menyekutukan Allah datang dari orang tua (ibu dan bapak), maka perintah tersebut tetap harus ditolak.
2. Kewajiban anak untuk berbakti kepada ibu bapaknya dengan cara berlaku santun dan lemah lembut.
3. Menyangkut misi utama kemanusiaan, yaitu berupa kewajiban menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar.
4. Membangun hubungan manusia dengan melakukan perbuatan baik, sikap dan perilaku dalam pergaulan, serta kesedehanaan dalam berkomunikasi dengan sesama.
Pada ayat ke 14, nasehat tersebut menekankan kepada anak agar senantiasa mengormati ibu terlebih dahulu, ini disebabkan karena ibu telah melahirkannya dengan susah payah, kemudian memeliharanya dengan kasih sayang yang tulus ikhlas, sehingga ibu berpotensi untuk tidak dihiraukan oleh anak karena kelamahan ibu yang berbeda dengan bapak. Di sisi lain peranan bapak dalam konteks kelahiran anak lebih ringan di banding dengan peranan ibu. (M. Quraish Shihab, vol.11, 2002, 129). Tetapi keduanya tetaplah orang tua yang mempunyai tugas utama dalam mendidik anak sehingga proses kedewasaan.
Para pakar ilmu pendidikan menjelaskan bahwa usaha pendidikan adalah usaha sadar yang dilaksanakan oleh seseorang yang menghayati tujuan pendidikan. Berarti bahwa tugas pendidikan dibebankan kepada seseorang yang lebih dewasa dan matang, yaitu orang yang mempunyai integritas kepribadian dan kemampuan yang profesional (Umar Shihab, 2005: 169)
Isi nasehat keempat diatas mengantarkan pada kejelasan makna bahwa ada patokan fundamental tentang pendidikan dalam al-Qur’an. Pendidikan dapat disimpulkan sebagai suatu peristiwa komunikasi yang berlangsung dalam situasi dialogis antara manusia untuk mencapai tujuan tertentu (Umar Shihab, 2005: 154)
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan konsep pendidikan menurut Al-Qur’an diarahkan pada upaya menolong anak didik agar dapat melaksanakan fungsinya mengabdi kepada Allah. Seluruh potensi yang dimiliki anak didik yaitu potensi intelektual, jiwa dan jasmani harus di bina secara terpadu dalam keselarasan, keserasian dan keseimbangan yang tergambar dalam sosok manusia seutuhnya.


prince_darkness:
D. Kesimpulan
Pendidikan Islam yang sejalan dengan konsep pendidikan menurut al-Qur’an terangkum dalam tiga konsep yaitu pendidikan tarbiyah, ta’lim dan ta’dib. Pendidikan dalam konsep tarbiyah lebih menerangkan pada manusia bahwa Allah memberikan pendidikan melalui utusan-Nya yaitu Rasulullah Saw dan selanjutnya Rasul menyampaikan kepada para ulama, kemudian para ulama menyampaikan kepada manusia. Sedangkan pendidikan dalam konsep ta’lim merupakan proses tranfer ilmu pengetahuan untuk meningkatkan intelektualitas peserta didik. Kemudian ta’dib merupakan proses mendidik yang lebih tertuju pada pembinaan akhlak peserta didik.
Konsep pendidikan menurut al-Qur’an terangkum dalam ayat-ayat yang berhubungan dengan pendidikan di dalam Kitab al-Qur’an itu sendiri seperti pada ayat-ayat yang telah dijelaskan yaitu surat al-Baqarah ayat 31-34, 129, dan 151 menjelaskan tentang pelajaran yang diberikan Allah kepada Nabi Adam As, dan pokok-pokok pendidikan yang diberikan Rasul kepada umatnya. Surat Luqman ayat 13-14 berisi tentang konsep pendidikan utama yakni pendidikan orang tua terhadap anak.

Daftar Pustaka

Anshari, Endang Saefuddin, Pokok-Pokok Pikiran tentang Islam, Usaha Enterprise, Jakarta: 1976

Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos, Wacana Ilmu

--------, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, Wacana Ilmu, 1998

Arifin, Muzayyin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2003
Cowie, Hornby, Oxford Advanced Learners Dictionary of Current English, London:Oxford University Press, 1974

Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung, Gema Risalah Press, 1992

Jalaluddin, Teologi Pendidikan, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003
Natsir, Muhammad, Kapita Selekta, Bandung, Gravenhage, 1954
Nizar, Samsul, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001

Redaksi Penerbit, Standar Nasional Pendidikan, Jakarta: Asa Mandiri, 2006

Shihab, Umar, Kontekstualitas Al-Qur’an; Kajian Tematik Atas Ayat-Ayat Hukum Dalam Al-Qur’an, Jakarta: Penamadani, 2005

Shihab, Quraish, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2002 Vol. 1

--------, Tasfir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2002, vol. 11

--------, Membumikan Al-Qur’an, Bandung, Mizan: 1994
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989






Create By My Sister, Desi M SSos.i Mpdi

ilmu tasawwuf


1. Pengertian Ilmu Tasawwuf :

Ilmu tasauf ialah ilmu yang menyuluh perjalanan seseorang mukmin di dalam membersihkan hati dengan sifat-sifat mahmudah atau sifat-sifat yang mulia dan menghindari atau menjauhkan diri daripada sifat-sifat mazmumah iaitu yang keji dan tercela .

2. Ilmu tasawwuf bertujuan mendidik nafsu dan akal supaya sentiasa berada di dalam landasan dan peraturan hukum syariat Islam yang sebenar sehingga mencapai taraf nafsu mutmainnah .

3. Syarat-syarat untuk mencapai taraf nafsu mutmainah:

a) Banyak bersabar .
b) Banyak menderita yang di alami oleh jiwa .

4. Imam Al-Ghazali r.a. telah menggariskan sepuluh sifat Mahmudah / terpuji di dalam kitab Arbain Fi Usuluddin iaitu :

1) Taubat .

2) Khauf ( Takut )

3) Zuhud

4) Sabar.

5) Syukur.

6) Ikhlas.

7) Tawakkal.

Mahabbah ( Kasih Sayang )

9) Redha.

10) Zikrul Maut ( Mengingati Mati )

5. Dan Imam Al-Ghazali juga telah menggariskan sepuluh sifat Mazmumah / tercela / sifat keji di dalam kitab tersebut iaitu :

1) Banyak Makan

2) Banyak bercakap.

3) Marah.

4) Hasad.

5) Bakhil.

6) Cintakan kemegahan.

7) Cintakan dunia .

Bangga Diri.

9) Ujub ( Hairan Diri ).

10) Riya’ ( Menunjuk-nunjuk ).

Bab 2: Khauf

1. Khauf bererti takut akan Allah s.w.t., iaitu rasa gementar dan rasa gerun akan kekuatan dan kebesaran Allah s.w.t. serta takutkan kemurkaanNya dengan mengerjakan segala perintahNya dan meninggalkan segala laranganNya.

2. Firman Allah s.w.t. yang bermaksud : “Dan kepada Akulah ( Allah ) sahaja hendaklah kamu merasa gerun dan takut bukan kepada sesuatu yang lain”.
( Surah Al-Baqarah – Ayat 40 )

3. Seseorang itu tidak akan merasai takut kepada Allah s.w.t. jika tidak mengenalNya. Mengenal Allah s.w.t. ialah dengan mengetahui akan sifat-sifat ketuhanan dan sifat -sifat kesempurnaan bagi zatNya.

4. Seseorang itu juga hendaklah mengetahui segala perkara yang disuruh dan segala perkara yang ditegah oleh agama.

5. Dengan mengenal Allah s.w.t. dan mengetahui segala perintah dan laranganNya, maka seseorang itu akan dapat merasai takut kepada Allah s.w.t.

6. Rasa takut dan gerun kepada Allah s.w.t. akan menghindarkan seseorang itu daripada melakukan perkara yang ditegah oleh Allah s.w.t. dan seterusnya patuh dan tekun mengerjakan perkara yang disuruhnya dengan hati yang khusyuk dan ikhlas.

Rujukan : Tasauf di Dalam Islam – Datuk Hj.Md.Yunus bin Hj. Md. Yatim.
( Bekas Mufti Negeri Melaka )

Bab 3 : Sifat Redha

1) Sifat redha adalah daripada sifat makrifah dan mahabbah kepada Allah s.w.t.

2) Pengertian redha ialah menerima dengan rasa senang dengan apa yang diberikan oleh Allah s.w.t. baik berupa peraturan ( hukum ) mahupun qada’ atau sesuatu ketentuan daripada Allah s.w.t.

3) Redha terhadap Allah s.w.t terbahagi kepada dua :

Redha menerima peraturan ( hukum ) Allah s.w.t. yang dibebankan kepada manusia.
Redha menerima ketentuan Allah s.w.t. tentang nasib yang mengenai diri.
Redha Menerima hukum Allah s.w.t. :

Redha menerima hukum-hukum Allah s.w.t. adalah merupakan manifestasi daripada kesempurnaan iman, kemuliaan taqwa dan kepatuhan kepada Allah s.w.t. kerana menerima peraturan-peraturan itu dengan segala senang hati dan tidak merasa terpaksa atau dipaksa.

Merasa tunduk dan patuh dengan segala kelapangan dada bahkan dengan gembira dan senang menerima syariat yang digariskan oleh Allah s.w.t. dan Rasulnya adalah memancar dari mahabbah kerana cinta kepada Allah s.w.t. dan inilah tanda keimanan yang murni serta tulus ikhlas kepadaNya.

Firman Allah s.w.t. yang bermaksud :
” Tetapi tidak ! Demi Tuhanmu, mereka tidak dipandang beriman hingga mereka menjadikanmu ( Muhammad ) hakim dalam apa yang mereka perselisihkan di antara mereka, kemudian mereka tidak merasa sempit dalam hati mereka tentang apa yang engkau putuskan serta mereka menyerah dengan bersungguh – sungguh “. ( Surah An-Nisaa’ : Ayat 65 )

Dan firman Allah s.w.t yang bermaksud :
” Dan alangkah baiknya jika mereka redha dengan apa yang Allah dan Rasulnya berikan kepada mereka sambil mereka berkata : ‘ Cukuplah Allah bagi kami , Ia dan Rasulnya akan berikan pada kami kurnianya ,Sesungguhnya pada Allah kami menuju “.
( Surah At Taubah : Ayat 59 )

Pada dasarnya segala perintah-perintah Allah s.w.t. baik yang wajib mahupun yang Sunnah ,hendaklah dikerjakan dengan senang hati dan redha. Demikian juga dengan larangan-larangan Allah s.w.t. hendaklah dijauhi dengan lapang dada .

Itulah sifat redha dengan hukum-hukum Allah s.w.t. Redha itu bertentangan dengan sifat dan sikap orang-orang munafik atau kafir yang benci dan sempit dadanya menerima hukum-hukum Allah s.w.t.

Firman Allah s.w.t. yang bermaksud :
” Yang demikian itu kerana sesungguhnya mereka ( yang munafik ) berkata kepada orang-orang yang di benci terhadap apa-apa yang diturunkan oleh Allah s.w.t. ‘Kami akan tuntut kamu dalam sebahagian urusan kamu ‘,Tetapi Allah mengetahui rahsia mereka “. ( Surah Muhammad : Ayat 26 )

Andaikata mereka ikut beribadah, bersedekah atau mengerjakan sembahyang maka ibadah itu mereka melakukannya dengan tidak redha dan bersifat pura-pura. Demikianlah gambaran perbandingan antara hati yang penuh redha dan yang tidak redha menerima hukum Allah s.w.t. , yang mana hati yang redha itu adalah buah daripada kemurnian iman dan yang tidak redha itu adalah gejala nifaq.

Redha Dengan Qada’ :

Redha dengan qada’ iaitu merasa menerima ketentuan nasib yang telah ditentukan Allah s.w.t baik berupa nikmat mahupun berupa musibah ( malapetaka ). Didalam hadis diungkapkan bahawa di antara orang yang pertama memasuki syurga ialah mereka yang suka memuji Allah s.w.t. . iaitu mereka memuji Allah ( bertahmid ) baik dalam keadaan yang susah mahupun di dalam keadaan senang.

Diberitakan Rasulullah s.a.w. apabila memperolehi kegembiraan Baginda berkata :
” Segala puji bagi Allah yang dengan nikmatnya menjadi sempurnalah kebaikan “.

Dan apabila kedatangan perkara yang tidak menyenangkan , Baginda mengucapkan :
” Segala puji bagi Allah atas segala perkara “.

Perintah redha menerima ketentuan nasib daripada Allah s.w.t. dijelaskan didalam hadis Baginda yang lain yang bermaksud :

” Dan jika sesuatu kesusahan mengenaimu janganlah engkau berkata : jika aku telah berbuat begini dan begitu, begini dan begitulah jadinya. Melainkan hendakalah kamu katakan : Allah telah mentaqdirkan dan apa yang ia suka , ia perbuat ! ” Kerana sesungguhnya perkataan : andaikata… itu memberi peluang pada syaitan ” . (Riwayat Muslim)

Sikap redha dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Allah s.w.t. Ketika mendapat kesenangan atau sesuatu yang tidak menyenangkan bersandar kepada dua pengertian :

Pertama : Bertitik tolak dari pengertian bahawa sesungguhnya Allah s.w.t. memastikan terjadinya hal itu sebagai yang layak bagi Dirinya kerana bagi Dialah sebaik-baik Pencipta. Dialah Yang Maha Bijaksana atas segala sesuatu.

Kedua : Bersandar kepada pengertian bahawa ketentuan dan pilihan Allah s.w.t. itulah yang paling baik , dibandingkan dengan pilihan dan kehendak peribadi yang berkaitan dengan diri sendiri.

Sabda Rasulullah s.a.w. yang bermaksud :
” Demi Allah yang jiwaku ditangannya !Tidaklah Allah memutuskan sesuatu ketentuan bagi seorang mukmin melainkan mengandungi kebaikan baginya. Dan tiadalah kebaikan itu kecuali bagi mukmin . Jika ia memperolehi kegembiraan dia berterima kasih bererti kebaikan baginya , dan jika ia ditimpa kesulitan dia bersabar bererti kebaikan baginya “.
( Riwayat Muslim )

Tasawwuf > Bab 7 : Sabar

Iaitu menahan diri daripada keluh kesah pada sesuatu yang tidak disukai.

Sifat sabar perlu ketika menghadapi tiga perkara berikut:
1. Menahan diri daripada keluh kesah dan menahan diri daripada mengadu kepada yang lain daripada Allah subhanahu wata‘ala ketika berlaku sesuatu bala atau bencana.

2. Menahan diri dalam mengerjakan segala perintah Allah.

3. Menahan diri dalam meninggalkan segala larangan Allah.

Sifat sabar itu dipuji pada syara‘ kerana seseorang yang bersifat sabar menunjukkan ia beriman dengan sempurna kepada Allah, dan menunjukkan ia taat dan menjunjung segala perintah agama.

Orang yang beriman kepada Allah mengetahui bahawa segala perkara yang berlaku ke atas drinya adalah kehendak Allah yang tidak dapat dielak lagi. Begitulah juga orang yang taat, tidak akan merasa susah dalam mengerjakan segala perintah Allah dan meninggalkan laranganNya.
Tasawwuf > Bab 8 : Syukur

Iaitu mengaku dan memuji Allah atas nikmat yang diberi dan menggunakan segala nikmat itu untuk berbuat taat kepada Allah subhanahu wata‘ala.

Tiap-tiap nikmat yang diberi oleh Allah subhanahu wata‘ala kepada makhlukNya adalah dengan limpah kurniaNya semata-mata, seperti nikmat kesihatan, kekayaan, kepandaian dan sebagainya. Oleh yang demikian, bersyukur dan berterima kasih atas nikmat-nikmat tersebut merupakan suatu kewajipan kepada Allah subhanahu wata‘ala.

Setiap nikmat juga hendaklah disyukuri kerana orang yang tidak berterima kasih adalah orang yang tidak mengenang budi. Oleh itu, hendaklah digunakan nikmat-nikmat Allah itu untuk menambahkan ibadah kepada Allah dan sangatlah keji dan hina menggunakan nikmat-nikmat itu untuk menderhakai Tuhan yang memberi nikmat.
Tasawwuf > Bab 9 : Tawakkal

Iaitu menetapkan hati dan berserah kepada Allah pada segala perkara yang berlaku serta jazam (putus) pada i`tiqad bahawa Allah subhanahu wata‘ala yang mengadakan dan memerintahkan tiap-tiap sesuatu.

Berserah kepada Allah pada segala perkara itu hendaklah disertakan dengan ikhtiar dan usaha kerana Allah menjadikan sesuatu mengikut sebab-sebabnya, seperti dijadikan pandai kerana belajar, dijadikan kaya kerana rajin berusaha atau berjimat cermat dan sebagainya.

Tasawwuf > Bab 10 : Mahabbah

Iaitu kasihkan Allah subhanahu wata‘ala dengan mengingatiNya pada setiap masa dan keadaan.

Kasihkan Allah ialah dengan segera melakukan segala perintahNya dan berusaha mendampingkan diri kepada Allah dengan ibadah-ibadah sunat dan bersungguh-sungguh menghindari maksiat serta perkara-perkara yang membawa kemarahanNya.
Tasawwuf > Bab 11 : Zikrulmawt

Iaitu sentiasa mengingati mati dan sentiasa bersedia dengan amalan-amalan yang baik.

Oleh kerana seseorang itu akan mati, maka hendaklah ia bersedia dengan amalan-amalan yang baik dan hendaklah ia memenuhkan tiap-tiap saat daripada umurnya itu dengan perkara yang berfaedah bagi akhiratnya kerana tiap-tiap perkara yang telah lalu tidak akan kembali lagi.
Tasawwuf > Bab 12 : Sifat-sifat Mazmumah

1. Syarrut ta‘am (banyak makan)

Iaitu terlampau banyak makan atau minum ataupun gelojoh ketika makan atau minum.

Makan dan minum yang berlebih-lebihan itu menyebabkan seseorang itu malas dan lemah serta membawa kepada banyak tidur. Ini menyebabkan kita lalai daripada menunaikan ibadah dan zikrullah.

Makan dan minum yang berlebih-lebihan adalah ditegah walaupun tidak membawa kepada lali daripada menunaikan ibadah kerana termasuk di dalam amalan membazir.

2. Syarrul kalam (banyak bercakap)

Iaitu banyak berkata-kata atau banyak bercakap.

Banyak berkata-kata itu boleh membawa kepada banyak salah, dan banyak salah itu membawa kepada banyak dosa serta menyebabkan orang yang mendengar itu mudah merasa jemu.
3. Ghadhab (pemarah)

Ia bererti sifat pemarah, iaitu marah yang bukan pada menyeru kebaikan atau menegah daripada kejahatan.

Sifat pemarah adalah senjata bagi menjaga hak dan kebenaran. Oleh kerana itu, seseorang yang tidak mempunyai sifat pemarah akan dizalimi dan akan dicerobohi hak-haknya.

Sifat pemarah yang dicela ialah marah yang bukan pada tempatnya dan tidak dengan sesuatu sebab yang benar.
4. Hasad (dengki)

Iaitu menginginkan nikmat yang diperolehi oleh orang lain hilang atau berpindah kepadanya.

Seseorang yang bersifat dengki tidak ingin melihat orang lain mendapat nikmat atau tidak ingin melihat orang lain menyerupai atau lebih daripadanya dalam sesuatu perkara yang baik. Orang yang bersifat demikian seolah-olah membangkang kepada Allah subhanahu wata‘ala kerana mengurniakan sesuatu nikmat kepada orang lain.

Orang yang berperangai seperti itu juga sentiasa dalam keadaan berdukacita dan iri hati kepada orang lain yang akhirnya menimbulkan fitnah dan hasutan yang membawa kepada bencana dan kerosakan.
5. Bakhil (kedekut)

Iaitu menahan haknya daripada dibelanjakan atau digunakan kepada jalan yang dituntut oleh agama.

Nikmat yang dikurniakan oleh Allah subhanahu wata‘ala kepada seseorang itu merupakan sebagai alat untuk membantu dirinya dan juga membantu orang lain. Oleh yang demikian, nikmat dan pemberian Allah menjadi sia-sia sekiranya tidak digunakan dan dibelanjakan sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah subhanahu wata‘ala.

Lebih-lebih lagi dalam perkara-perkara yang menyempurnakan agama seperti zakat, mengerjakan haji dan memberi nafkah kepada tanggungan, maka menahan hak atau harta tersebut adalah suatu kesalahan besar di sisi agama.
6. Hubbul jah (kasihkan kemegahan)

Iaitu kasihkan kemegahan, kebesaran dan pangkat.

Perasaan inginkan kemegahan dan pangkat kebesaran menjadikan perbuatan seseorang itu tidak ikhlas kerana Allah.

Akibat daripada sifat tersebut boleh membawa kepada tipu helah sesama manusia dan boleh menyebabkan seseorang itu membelakangkan kebenaran kerana menjaga pangkat dan kebesaran.
7. Hubbud dunya (kasihkan dunia)

Ia bermaksud kasihkan dunia, iaitu mencintai perkara-perkara yang berbentuk keduniaan yang tidak membawa sebarang kebajikan di akhirat.

Banyak perkara yang diingini oleh manusia yang terdiri daripada kesenangan dan kemewahan. Di antara perkara-perkara tersebut ada perkara-perkara yang tidak dituntut oleh agama dan tidak menjadi kebajikan di akhirat.

Oleh yang demikian, kasihkan dunia itu adalah mengutamakan perkara-perkara tersebut sehingga membawa kepada lalai hatinya daripada menunaikan kewajipan-kewajipan kepada Allah.

Namun begitu, menjadikan dunia sebagai jalan untuk menuju keredhaan Allah bukanlah suatu kesalahan.
8. Takabbur (sombong)

Iaitu membesarkan diri atau berkelakuan sombong dan bongkak.

Orang yang takabbur itu memandang dirinya lebih mulia dan lebih tinggi pangkatnya daripada orang lain serta memandang orang lain itu hina dan rendah pangkat.

Sifat takabbur ini tiada sebarang faedah malah membawa kepada kebencian Allah dan juga manusia dan kadangkala membawa kepada keluar daripada agama kerana enggan tunduk kepada kebenaran.
9. ‘Ujub (bangga diri)

Iaitu merasai atau menyangkakan dirinya lebih sempurna.

Orang yang bersifat ‘ujub adalah orang yang timbul di dalam hatinya sangkaan bahawa dia adalah seorang yang lebih sempurna dari segi pelajarannya, amalannya, kekayaannya atau sebagainya dan ia menyangka bahawa orang lain tidak berupaya melakukan sebagaimana yang dia lakukan.

Dengan itu, maka timbullah perasaan menghina dan memperkecil-kecilkan orang lain dan lupa bahawa tiap-tiap sesuatu itu ada kelebihannya.
10. Riya’ (menunjuk-nunjuk)

Iaitu memperlihatkan dan menunjuk-nunjuk amalan kepada orang lain.

Setiap amalan yang dilakukan dengan tujuan menunjuk-nunjuk akan hilanglah keikhlasan dan menyimpang dari tujuan asal untuk beribadah kepada Allah semata-mata.

Orang yang riya’ adalah sia-sia segala amalannya kerana niatnya telah menyimpang disebabkan inginkan pujian daripada manusia.
Bab 4 : Ikhlas

1. Sifat ikhlas ialah menumpukan niat bagi setiap ibadah atau kerja yang dilakukan semata-mata kerana Allah s.w.t. dan diqasadkan ( niat ) untuk menjunjung perintah semata-mata serta membersihkan hati dari dosa riya’ , ujub atau inginkan pujian manusia.

2. Firman Allah s.w.t. di dalam Al-Quran yang bermaksud :

“ Padahal mereka tidak diperintahkan melainkan supaya menyembah Allah s.w.t. dengan mengikhlaskan ibadah kepadanya , lagi tetap teguh di atas tauhid dan supaya mereka mendirikan sembahyang dan memberi zakat dan yang demikian itulah agama yang benar “.
( Surah Al-Bayyinah – Ayat 5 )

3. Setiap pekerjaan yang dilakukan hendaklah dibersihkan daripada sesuatu tujuan yang lain daripada taat kepada perintah Allah s.w.t.

4. Hendaklah dibersihkan niat daripada sebab-sebab yang lain dari sifat-sifat yang keji ( sifat mazmumah ) seperti riya’ , ujub , inginkan kemasyhuran dan lain-lain lagi.

5. Dalam meninggalkan larangan Allah s.w.t. hendaklah diniatkan untuk taat semata-mata bukan kerana malu kepada makhluk atau sebagainya.


( Rujukan Kitab – Mengenal Ilmu Tasawwuf – Mohd Sulaiman bin Hj. Yasin )

Bab 5 : Taubat

1. Iaitu kembali daripada keburukan kepada kebaikan dengan beberapa syarat yang tertentu.

2. Firman Allah S.W.T. yang bermaksud :

” Dan mohonlah ampun kepada Allah , sesungguhnya ia Maha
Pengampun lagi Maha Mengasihani ”.
( Surah Al – Muzammil – Ayat 20 )

3. Syarat-syarat taubat adalah seperti berikut :

Meninggalkan maksiat atau perkara dosa tersebut.
Menyesal atas maksiat atau dosa yang telah dilakukan.
Bercita-cita tidak akan mengulanginya lagi.
Mengembalikan hak-hak makhluk yang dizalimi.
Mengerjakan perkara-perkara fardhu yang telah luput.
4. Setiap manusia tidak dapat mengelakkan dirinya daripada tersalah dan terlupa, melainkan manusia yang Ma’asum ( terpelihara daripada dosa ) seperti rasul-rasul dan nabi-nabi.

5. Seseorang itu hendaklah bersungguh-sungguh memelihara diri daripada dosa iaitu dengan memelihara seluruh anggota daripada melakukan perkara-perkara yang ditegah oleh agama.

6. Beberapa faedah dan hikmah taubat iaitu:

Menghidupkan jiwa yang resah kerana dosa.
Mendekatkan diri kepada Allah S.W.T .
Meningkatkan ketaqwaan diri.
Membenteras tipu-daya syaitan yang selama ini memerangkap manusia
dengan berbuat dosa dan maksiat.
Memperolehi kemuliaan dan anugerah Allah S.W.T. dalam hidup di dunia dan akhirat ( Dipetik daripada – Hidup Bertaqwa Oleh Dato’ Hj. Ismail bin Hj. Kamus M / S 269 – 273
Filed under: Ilmu tasawwuf (sifat Mahmudah & sifat mazmumah)

ilmu kalam


Ilmu Kalam adalah salah satu dari empat disiplin keilmuan yang telah tumbuh dan menjadi bagian dari tradisi kajian tentang agama Islam. Tiga lainnya ialah disiplin-disiplin keilmuan Fiqh, Tasawuf, dan Falsafah. Jika Ilmu Fiqh membidangi segi-segi formal peribadatan dan hukum, sehingga tekanan orientasinya sangat eksoteristik, mengenai hal-hal lahiriah, dan Ilmu Tasawuf membidangi segi-segi penghayatan dan pengamalan keagamaan yang lebih bersifat pribadi, sehingga tekanan orientasinya pun sangat esoteristik, mengenai hal-hal batiniah, kemudian Ilmu Falsafah membidangi hal-hal yang bersifat perenungan spekulatif tentang hidup ini dan lingkupnya seluas-luasnya, maka Ilmu Kalam mengarahkan pembahasannya kepada segi-segi mengenai Tuhan dan berbagai derivasinya. Karena itu ia sering diterjemahkan sebagai Teologia, sekalipun sebenarnya tidak seluruhnya sama dengan pengertian Teologia dalam agama Kristen, misalnya. (Dalam pengertian Teologia dalam agama kristen, Ilmu Fiqh akan termasuk Teologia). Karena itu sebagian kalangan ahli yang menghendaki pengertian yang lebih persis akan menerjemahkan Ilmu Kalam sebagai Teologia dialektis atau Teologia Rasional, dan mereka melihatnya sebagai suatu disiplin yang sangat khas Islam.

Sebagai unsur dalam studi klasik pemikiran keislaman. Ilmu Kalam menempati posisi yang cukup terhormat dalam tradisi keilmuan kaum Muslim. Ini terbukti dari jenis-jenis penyebutan lain ilmu itu, yaitu sebutan sebagai Ilmu Aqd'id (Ilmu Akidah-akidah, yakni, Simpul-simpul [Kepercayaan]), Ilmu Tawhid (Ilmu tentang Kemaha-Esaan [Tuhan]), dan Ilmu Ushul al-Din (Ushuluddin, yakni, Ilmu Pokok-pokok Agama). Di negeri kita, terutama seperti yang terdapat dalam sistem pengajaran madrasah dan pesantren, kajian tentang Ilmu Kalam merupakan suatu kegiatan yang tidak mungkin ditinggalkan. Ditunjukkan oleh namanya sendiri dalam sebutan-sebutan lain tersebut di atas, Ilmu Kalam menjadi tumpuan pemahaman tentang sendi-sendi paling pokok dalam ajaran agama Islam, yaitu simpul-simpul kepercayaan, masalah Kemaha-Esaan Tuhan, dan pokok-pokok ajaran agama. Karena itu, tujuan pengajaran Ilmu Kalam di madrasah dan pesantren ialah untuk menanamkan paham keagamaan yang benar. Maka dari itu pendekatannya pun biasanya doktrin, seringkali juga dogmatis.

Meskipun begitu, dibanding dengan kajian tentang Ilmu Fiqh, kajian tentang Ilmu Kalam di kalangan kaum "Santri" masih kalah mendalam dan meluas. Mungkin dikarenakan oleh kegunaannya yang praktis, kajian Ilmu Fiqh yang membidangi masalah-masalah peribadatan dan hukum itu meliputi khazanah kitab dan bahan rujukan yang kaya dan beraneka ragam. Sedangkan kajian tentang Ilmu Kalam meliputi hanya khazanah yang cukup terbatas, yang mencakup jenjang-jenjang permulaan dan menengah saja, tanpa atau sedikit sekali menginjak jenjang yang lanjut (advanced). Berkenaan dengan hal ini dapat disebutkan contoh-contoh kitab yang banyak digunakan di negeri kita, khususnya di pesantren-pesantren, untuk pengajaran Ilmu Kalam. Yaitu dimulai dengan kitab 'Aqidat al-'Awamm (Akidat Kaum Awam), diteruskan dengan Bad' al-Amal (Pangkal Berbagai Cita) atau Jawharat al-Tauhid (Pertama Tauhid), mungkin juga dengan kitab Al-Sanusiyyah (disebut demikian karena dikarang oleh seseorang bernama al-Sanusi).

Disamping itu, sesungguhnya Ilmu Kalam tidak sama sekali bebas dari kontroversi atau sikap-sikap pro dan kontra, baik mengenai isinya, metodologinya, maupun klaim-klaimnya. Karena itu penting sekali mengerti secukupnya ilmu ini, agar terjadi pemahaman agama yang lebih seimbang.

Pertumbuhan Ilmu Kalam
Sama halnya dengan disiplin-disiplin keilmuan Islam lainnya, Ilmu Kalam juga tumbuh beberapa abad setelah wafat Nabi. Tetapi lebih dari disiplin-disiplin keilmuan Islam lainnya, Ilmu Kalam sangat erat terkait dengan skisme dalam Islam. Karena itu dalam penelusurannya ke belakang, kita akan sampai kepada peristiwa pembunuhan 'Utsman Ibn 'Aff'an, Khalifah III. Peristiwa menyedihkan dalam sejarah Islam yang sering dinamakan al-Fitnat al-Kubra (Fitnah Besar), sebagaimana telah banyak dibahas, merupakan pangkal pertumbuhan masyarakat (dan agama) Islam di berbagai bidang, khususnya bidang-bidang politik, sosial dan paham keagamaan. Maka Ilmu Kalam sebagai suatu bentuk pengungkapan dan penalaran paham keagamaan juga hampir secara langsung tumbuh dengan bertitik tolak dari Fitnah Besar itu.

Sebelum pembahasan tentang proses pertumbuhan Ilmu Kalam ini dilanjutkan, dirasa perlu menyisipkan sedikit keterangan tentang Ilmu Kalam ('Ilm al-Kalam), dan akan lebih memperjelas sejarah pertumbuhannya itu sendiri. Secara harfiah, kata-kata Arab kalam, berarti "pembicaraan". Tetapi sebagai istilah, kalam tidaklah dimaksudkan "pembicaraan" dalam pengertian sehari-hari, melainkan dalam pengertian pembicaraan yang bernalar dengan menggunakan logika. Maka ciri utama Ilmu Kalam ialah rasionalitas atau logika. Karena kata-kata kalam sendiri memang dimaksudkan sebagai ter jemahan kata dan istilah Yunani logos yang juga secara harfiah berarti "pembicaraan", tapi yang dari kata itulah terambil kata logika dan logis sebagai derivasinya. Kata Yunani logos juga disalin ke dalam kata Arab manthiq, sehingga ilmu logika, khususnya logika formal atau silogisme ciptaan Aristoteles dinamakan Ilmu Mantiq ('Ilm al-Mantiq). Maka kata Arab "manthiqi" berarti "logis".

Dari penjelasan singkat itu dapat diketahui bahwa Ilmu Kalam amat erat kaitannya dengan Ilmu Mantiq atau Logika. Itu, bersama dengan Falsafah secara keseluruhan, mulai dikenal orang-orang Muslim Arab setelah mereka menaklukkan dan kemudian bergaul dengan bangsa-bangsa yang berlatar-belakang peradaban Yunani dan dunia pemikiran Yunani (Hellenisme). Hampir semua daerah menjadi sasaran pembebasan (fat'h, liberation) orang-orang Muslim telah terlebih dahulu mengalami Hellenisasi (disamping Kristenisasi). Daerah-daerah itu ialah Syria, Irak, Mesir dan Anatolia, dengan pusat-pusat Hellenisme yang giat seperti Damaskus, Atiokia, Harran, dan Aleksandria. Persia (Iran) pun, meski tidak mengalami Kristenisasi (tetap beragama Majusi atau Zoroastrianisme), juga sedikit banyak mengalami Hellenisasi, dengan Jundisapur sebagai pusat Hellenisme Persia.

Adalah untuk keperluan penalaran logis itu bahan-bahan Yunani diperlukan. Mula-mula ialah untuk membuat penalaran logis oleh orang-orang yang melakukan pembunuhan 'Utsm'an atau menyetujui pembunuhan itu. Jika urutan penalaran itu disederhanakan, maka kira-kira akan berjalan seperti ini: Mengapa 'Utsman boleh atau harus dibunuh? Karena ia berbuat dosa besar (berbuat tidak adil dalam menjalankan pemerintahan) padahal berbuat dosa besar adalah kekafiran. Dan kekafiran, apalagi kemurtadan (menjadi kafir setelah Muslim), harus dibunuh. Mengapa perbuatan dosa besar suatu kekafiran? Karena manusia berbuat dosa besar, seperti kekafiran, adalah sikap menentang Tuhan. Maka harus dibunuh! Dari jalan pikiran itu, para (bekas) pembunuh 'Utsman atau pendukung mereka menjadi cikal-bakal kaum Qadari, yaitu mereka yang berpaham Qadariyyah, suatu pandangan bahwa manusia mampu menentukan amal perbuatannya, maka manusia mutlak bertanggung jawab atas segala perbuatannya itu, yang baik dan yang buruk.

Peranan Kaum Khawarij dan Mu'tazilah
Para pembunuh 'Utsman itu, menurut beberapa petunjuk kesejarahan, menjadi pendukung kekhalifahan 'Ali Ibn Abi Thalib, Khalifah IV. Ini disebutkan, misalnya, oleh Ibn Taymiyyah, sebagai berikut:

Sebagian besar pasukan Ali, begitu pula mereka yang memerangi Ali dan mereka yang bersikap netral dari peperangan itu bukanlah orang-orang yang membunuh 'Utsman. Sebaliknya, para pembunuh 'Utsman itu adalah sekelompok kecil dari pasukan 'Ali, sedangkan umat saat kekhalifahan 'Utsman itu berjumlah dua ratus ribu orang, dan yang menyetujui pembunuhannya seribu orang sekitar itu.[1]

Tetapi mereka kemudian sangat kecewa kepada 'Ali, karena Khalifah ini menerima usul perdamaian dengan musuh mereka, Mu'awiyah ibn Abu Sufyan, dalam "Peristiwa Shiffin" di situ 'Ali mengalami kekalahan di plomatis dan kehilangan kekuasaan "de jure"-nya. Karena itu mereka memisahkan diri dengan membentuk kelompok baru yang kelak terkenal dengan sebutan kaum Khawarij (al-Kahwarij, kaum Pembelot atau Pemberontak). Seperti sikap mereka terhadap 'Utsman, kaum Khawarij juga memandang 'Ali dan Mu'awiyah sebagai kafir karena mengkompromikan yang benar (haqq) dengan yang palsu (bathil). Karena itu mereka merencanakan untuk membunuh 'Ali dan Mu'awiyah, juga Amr ibn al-'Ash, gubernur Mesir yang sekeluarga membantu Mu'awiyah mengalahkan Ali dalam "Peristiwa Shiffin" tersebut. Tapi kaum Khawarij, melalui seseorang bernama Ibn Muljam, berhasil membunuh hanya 'Ali, sedangkan Mu'awiyah hanya mengalami luka-luka, dan 'Amr ibn al-'Ash selamat sepenuhnya (tapi mereka membunuh seseorang bernama Kharijah yang disangka 'Amr, karena rupanya mirip). [2]

Karena sikap-sikap mereka yang sangat ekstrem dan eksklusifistik, kaum Khawarij akhirnya boleh dikatakan binasa. Tetapi dalam perjalanan sejarah pemikiran Islam, pengaruh mereka tetap saja menjadi pokok problematika pemikiran Islam. Yang paling banyak mewarisi tradisi pemikiran Khawarij ialah kaum Mu'tazilah. Mereka inilah sebenarnya kelompok Islam yang paling banyak mengembangkan Ilmu Kalam seperti yang kita kenal sekarang. Berkenaan dengan Ibn Taymiyyah mempunyai kutipan yang menarik dari keterangan salah seorang 'ulama' yang disebutnya Imam 'Abdull'ah ibn al-Mubarak. Menurut Ibn Taymiyyah, sarjana itu menyatakan demikian:

Agama adalah kepunyaan ahli (pengikut) Hadits, kebohongan kepunyaan kaum Rafidlah, (ilmu) Kalam kepunyaan kaum Mu'tazilah, tipu daya kepunyaan (pengikut) Ra'y (temuan rasional) ... [3]

Karena itu ditegaskan oleh Ibn Taymiyyah bahwa Ilmu Kalam adalah keahlian khusus kaum Mu'tazilah.[4] Maka salah satu ciri pemikiran Mu'tazili ialah rasionalitas dan paham Qadariyyah. Namun sangat menarik bahwa yang pertama kali benar-benar menggunakan unsur-unsur Yunani dalam penalaran keagamaan ialah seseorang bernama Jahm ibn Shafwan yang justru penganut paham Jabariyyah, yaitu pandangan bahwa manusia tidak berdaya sedikit pun juga berhadapan dengan kehendak dan ketentuan Tuhan. Jahm mendapatkan bahan untuk penalaran Jabariyyah-nya dari Aristotelianisme, yaitu bagian dari paham Aristoteles yang mengatakan bahwa Tuhan adalah suatu kekuatan yang serupa dengan kekuatan alam, yang hanya mengenal keadaan-keadaan umum (universal) tanpa mengenal keadaan-keadaan khusus (partikular). Maka Tuhan tidak mungkin memberi pahala dan dosa, dan segala sesuatu yang terjadi, termasuk pada manusia, adalah seperti perjalanan hukum alam. Hukum alam seperti itu tidak mengenal pribadi (impersonal) dan bersifat pasti, jadi tak terlawan oleh manusia. Aristoteles mengingkari adanya Tuhan yang berpribadi personal God. Baginya Tuhan adalah kekuatan maha dasyat namun tak berkesadaran kecuali mengenai hal-hal universal. Maka mengikuti Aristoteles itu Jahm dan para pengikutpya sampai kepada sikap mengingkari adanya sifat bagi Tuhan, seperti sifat-sifat kasib, pengampun, santun, maha tinggi, pemurah, dan seterusnya. Bagi mereka, adanya sifat-sifat itu membuat Tuhan menjadi ganda, jadi bertentangan dengan konsep Tauhid yang mereka akui sebagai hendak mereka tegakkan. Golongan yang mengingkari adanya sifat-sifat Tuhan itu dikenal sebagai al-Nufat ("pengingkar" [sifat-sifat Tuhan]) atau al-Mu'aththilah ("pembebas" [Tuhan dari sifat-sifat]).[5]

Kaum Mu'tazilah menolak paham Jabiriyyah-nya kaum Jahmi. Kaum Mu'tazilah justru menjadi pembela paham Qadariyyah seperti halnya kaum Khawarij. Maka kaum Mu'tazilah disebut sebagai "titisan" doktrinal (namun tanpa gerakan politik) kaum Khawarij. Tetapi kaum Mu'tazilah banyak mengambil alih sikap kaum Jahmi yang mengingkari sifat-sifat Tuhan itu. Lebih penting lagi, kaum Mu'tazilah meminjam metologi kaum Jahmi, yaitu penalaran rasional, meskipun dengan berbagai premis yang berbeda, bahkan berlawanan (seperti premis kebebasan dan kemampuan manusia). Hal ini ikut membawa kaum Mu'tazilah kepada penggunaan bahan-bahan Yunani yang dipermudah oleh adanya kegiatan penerjemahan buku-buku Yunani, ditambah dengan buku-buku Persi dan India, ke dalam bahasa Arab. Kegiatan itu memuncak di bawah pemerintahan al-Ma'mun ibn Harun al-Rasyid. Penterjemahan itu telah mendorong munculnya Ahli Kalam dan Falsafah.[6]

Khalifah al-Ma'mun sendiri, di tengah-tengah pertikaian paham berbagai kelompok Islam, memihak kaum Mu'tazilah melawan kaum Hadits yang dipimpin oleh Ahmad ibn Hanbal (pendiri mazhab Hanbali, salah satu dari empat mazhab Fiqh). Lebih dari itu, Khalifah al-Ma'mun, dilanjutkan oleh penggantinya, Khalifah al-Mu'tashim, melakukan mihnah (pemeriksaan paham pribadi, inquisition), dan menyiksa serta menjebloskan banyak orang, termasuk Ahmad ibn Hanbal, ke dalam penjara.[7] Salah satu masalah yang diperselisihkan ialah apakah Kalam atau Sabda Allah, berujud al-Qur'an, itu qadim (tak terciptakan karena menjadi satu dengan Hakikat atau Dzat Ilahi) ataukah hadits (terciptakan, karena berbentuk suara yang dinyatakan dalam huruf dan bahasa Arab)?[8] Khalifah al-Ma'mun dan kaum Mu'tazilah berpendapat bahwa Kalam Allah itu hadits, sementara kaum Hadits (dalam arti Sunnah, dan harap diperhatikan perbedaan antara kata-kata hadits [a dengan topi] dan hadits [i dengan topi]) berpendapat al-Qur'an itu qadim seperti Dzat Allah sendiri.[9] Pemenjaraan Ahmad ibn Hanbal adalah karena masalah ini.

Mihnah itu memang tidak berlangsung terlalu lama, dan orang pun bebas kembali. Tetapi ia telah meninggalkan luka yang cukup dalam pada tubuh pemikiran Islam, yang sampai saat inipun masih banyak dirasakan orang-orang Muslim. Namun jasa al-Ma'mun dalam membuka pintu kebebasan berpikir dan ilmu pengetahuan tetap diakui besar sekali dalam sejarah umat manusia. Maka kekhalifahan al-Ma'mun (198-218 H/813-833 M), dengan campuran unsur-unsur positif dan negatifnya, dipandang sebagai salah satu tonggak sejarah perkembangan pemikiran Islam, termasuk perkembangan Ilmu Kalam, dan juga Falsafah Islam."[10]
Plus-Minus Ilmu Kalam
Dalam perkembangan selanjutnya, Ilmu Kalam tidak lagi menjadi monopoli kaum Mu'tazilah. Adalah seorang sarjana dari kota Basrah di Irak, bernama Abu al-Hasan al-Asy'ari (260-324 H/873-935 M) yang terdidik dalam alam pikiran Mu'tazilah (dan kota Basrah memang pusat pemikiran Mu'tazili). Tetapi kemudian pada usia 40 tahun ia meninggalkan paham Mu'tazilinya, dan justru mempelopori suatu jenis Ilmu Kalam yang anti Mu'tazilah. Ilmu Kalam al-Asy'ar'i itu, yang juga sering disebut sebagai paham Asy'ariyyah, kemudian tumbuh dan berkembang untuk menjadi Ilmu Kalam yang paling berpengaruh dalam Islam sampai sekarang, karena dianggap paling sah menurut pandangan sebagian besar kaum Sunni. Kebanyakan mereka ini kemudian menegaskan bahwa "jalan keselamatan" hanya didapatkan seseorang yang dalam masalah Kalam menganut al-Asy'ari.

Seorang pemikir lain yang Ilmu Kalam-nya mendapat pengakuan sama dengan al-Asy'ari ialah Abu Manshur al-Maturidi (wafat di Samarkand pada 333 H/944 M). Meskipun terdapat sedikit perbedaan dengan al-Asy 'ari, khususnya berkenaan dengan teori tentang kebebasan manusia (al-Maturidi mengajarkan kebebasan manusia yang lebih besar daripada al-Asy'ari), al-Maturidi dianggap sebagai pahlawan paham Sunni, dan sistem Ilmu Kalamnya dipandang sebagai "jalan keselamatan", bersama dengan sistem al-Asy'ari. Sangat ilustratif tentang sikap ini adalah pernyataan Haji Muhammad Shalih ibn 'Umar Samarani (yang populer dengan sebutan Kiai Saleh Darat dari daerah dekat Semarang), dengan mengutip dan menafsirkan Sabda nabi dalam sebuah hadits yang amat terkenal tentang perpecahan umat Islam dan siapa dari mereka itu yang bakal selamat:

...Wus dadi prenca-prenca umat ingkang dihin-dihin ing atase pitung puluh loro pontho, lan mbesuk bakal pada prenca-prenca sira kabeh dadi pitting puluh telu pontho, setengah saking pitung puluh telu namung sewiji ingkang selamet, lan ingkang pitung puluh loro kabeh ing dalem neraka. Ana dene ingkang sewiji ingkang selamet iku, iya iku kelakuan ingkang wus den lakoni Gusti Rasulullah s.a.w., lan iya iku 'aqa'ide Ahl al-Sunnah wa 'l-Jama'ah Asy'ariyyah lan Maturidiyyah.[11]

(...Umat yang telah lalu telah terpecah-pecah menjadi tujuh puluh dua golongan, dan kelak kamu semua akan terpecah-pecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, dari antara tujuh puluh tiga itu hanya satu yang selamat, sedangkan yang tujuh puluh dua semuanya dalam neraka. Adapun yang satu yang selamat itu ialah mereka yang berkelakuan seperti yang dilakukan junjungan Rasulullah s.a.w., yaitu 'aqa'id (pokok-pokok kepercayaan) Ahl al-Sunnah wa 'l-Jama'ah Asy'ariyyah dan M'aturidiyyah).

Kehormatan besar yang diterima al-Asy'ari ialah karena solusi yang ditawarkannya mengenai pertikaian klasik antara kaum "liberal" dari golongan Mu'tazilah dan kaum "konservatif" dari golongan Hadits (Ahl al-Hadits, seperti yang dipelopori oleh Ahmad ibn Hanbal dan sekalian imam mazhab Fiqh). Kesuksesan al-Asy'ari merupakan contoh klasik cara mengalahkan lawan dengan meminjam dan menggunakan senjata lawan. Dengan banyak meminjam metodologi pembahasan kaum Mu'tazilah, al-Asy'ari dinilai berhasil mempertahankan dan memperkuat paham Sunni di bidang Ketuhanan (di bidang Fiqh yang mencakup peribadatan dan hukum telah diselesaikan terutama oleh para imam mazhab yang empat, sedangkan di bidang tasawuf dan filsafat terutama oleh al-Ghazali, 450-505 H/1058-1111 M). Salah satu solusi yang diberikan oleh al-Asy'ari menyangkut salah satu kontroversi yang paling dini dalam pemikiran Islam, yaitu masalah manusia dan perbuatannya, apakah dia bebas menurut paham Qadariyyah atau terpaksa seperti dalam paham Jabariyyah. Dengan maksud menengahi antara keduanya, al-Asy'ari mengajukan gagasan dan teorinya sendiri, yang disebutnya teori Kasb (al-kasb, acquisition, perolehan). Menurut teori itu, perbuatan manusia tidaklah dilakukan dalam kebebasan dan juga tidak dalam keterpaksaan. Perbuatan manusia tetap dijadikan dan ditentukan Tuhan, yakni dalam keterlaksanaannya. Tetapi manusia tetap bertanggung-jawab atas perbuatannya itu, sebab ia telah melakukan kasb atau acquisition, dengan adanya keinginan, pilihan, atau keputusan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu, dan bukan yang lain, meskipun ia sendiri tidak menguasai dan tidak bisa menentukan keterlaksanaan perbuatan tertentu yang diinginkan, dipilih dan diputus sendiri untuk dilakukan itu. Ini diungkapkan secara singkat dalam nadham Jawharat al-Tawhid demikian:

Wa indana li l abdi kasbun kullifa, wa lam yakun mu atstsiran fa 'l-tarifa.
Fa laysa majburan wa la 'khtiyara wa laysa kullan yaf'alu 'khtiyara

(Bagi kita Ahl al-Sunnah manusia terbebani oleh kasb dan ketahuilah bahwa ia tidak mempengaruhi tindakannya.
Jadi manusia bukanlah terpaksa dan bukan pula bebas, namun tidak seorang pun mampu berbuat sekehendaknya).

Terhadap rumus itu Kiai Saleh Darat memberi komentar tipikal paham Sunni (menurut Ilmu Kalam Asy'ari) sebagai berikut:

... Maka Jabariyyah lan Qadariyyah iku sasar karone.Maka ana madshab Ahl al-Sunnah iku tengah-tengah antarane Jabariyyah lan Qadariyyah, metu antarane telethong lan getih metu rupa labanan khalishan sa'ghan li al-syaribin.[12]

(... Maka Jabariyyah dan Qadariyyah itu kedua-duanya sesat. Kemudian adalah mazhab Ahl al-Sunnah berada di tengah antara Jabariyyah dan Qadariyyah, keluar dari antara kotoran dan darah susu yang murni, yang menyegarkan orang yang meminumnya).

Tetapi tak urung konsep kasb al-Asy'ari itu menjadi sasaran kritik lawan-lawannya. Dan lawan-lawan al-Asy'ari tidak hanya terdiri dari kaum Mu'tazilah dan Syi'ah (yang dalam Ilmu Kalam banyak mirip dengan kaum Mu'tazilah), tetapi juga muncul, dari kalangan Ahl al-Sunnah sendiri, khususnya kaum Hanbali. Dalam hal ini bisa dikemukakan, sebagai contoh, yaitu pandangan Ibn Taymiyyah (661-728 H/1263-1328 M), seorang tokoh paling terkemuka dari kalangan kaum Hanbali. Ibn Taymiyyah menilai bahwa dengan teori kasb-nya itu alAsy'ari bukannya menengahi antara kaum Jabari dan Qadari, melainkan lebih mendekati kaum Jabari, bahkan mengarah kepada dukungan terhadap Jahm ibn Shafwin, teoretikus Jabariyyah yang terkemuka. Dalam ungkapan yang menggambarkan pertikaian pendapat beberapa golongan di bidang ini, Ibn Taymiyyah yang nampak lebih cenderung kepada paham Qadariyyah (meskipun ia tentu akan mengingkari penilaian terhadap dirinya seperti itu) mengatakan demikian:

... Sesungguhnya para pengikut paham Asy'ari dan sebagian orang yang menganut paham Qadariyyah telah sependapat dengan al-Jahm ibn Shafwan dalam prinsip pendapatnya tentang Jabariyyah, meskipun mereka ini menentangnya secara verbal dan mengemukakan hal-hal yang tidak masuk akal... Begitu pula mereka itu berlebihan dalam menentang kaum Mu'tazilah dalam masalah-masalah Qadariyyah --sehingga kaum Mu'tazilah menuduh mereka ini pengikut Jabariyyah-- dan mereka (kaum Asy'ariyyah) itu mengingkari bahwa pembawaan dan kemampuan yang ada pada benda-benda bernyawa mempunyai dampak atau menjadi sebab adanya kejadiankejadian (tindakan-tindakan).[13]

Namun agaknya Ibn Taymiyyah menyadari sepenuhnya betapa rumit dan tidak sederhananya masalah ini. Maka sementara ia mengkritik konsep kasb alAsy'ari yang ia sebutkan dirumuskan sebagai "sesuatu perbuatan yang terwujud pada saat adanya kemampuan yang diciptakan (oleh Tuhan untuk seseorang) dan perbuatan itu dibarengi dengan kemampuan tersebut"[14] Ibn Taymiyyah mengangkat bahwa pendapatnya itu disetujui oleh banyak tokoh Sunni, termasuk Malik, Syafii dan Ibn Hanbal. Namun Ibn Taymiyyah juga mengatakan bahwa konsep kasb itu dikecam oleh ahli yang lain sebagai salah satu hal yang paling aneh dalam Ilmu Kalam.[15]

Ilmu Kalam, termasuk yang dikembangkan oleh al-Asy'ari, juga dikecam kaum Hanbali dari segi metodologinya. Persoalan yang juga menjadi bahan kontroversi dalam Ilmu Kalam khususnya dan pemahaman Islam umumnya ialah kedudukan penalaran rasional ('aql, akal) terhadap keterangan tekstual (naql, "salinan" atau "kutipan"), baik dari Kitab Suci maupun Sunnah Nabi. Kaum "liberal", seperti golongan Mut'azilah, cenderung mendahulukan akal, dan kaum "konservatif" khususnya kaum Hanbali, cenderung mendahulukan naql. Terkait dengan persoalan ini ialah masalah interprestasi (ta'wil), sebagaimana telah kita bahas.[16] Berkenaan dengan masalah ini, metode al-Asy'ari cenderung mendahulukan naql dengan membolehkan interprestasi dalam hal-hal yang memang tidak menyediakan jalan lain. Atau mengunci dengan ungkapan "bi la kayfa" (tanpa bagaimana) untuk pensifatan Tuhan yang bernada antropomorfis (tajsim) --menggambarkan Tuhan seperti manusia, misalnya, bertangan, wajah, dan lain-lain. Metode al-Asy'ari ini sangat dihargai, dan merupakan unsur kesuksesan sistemnya.

Tetapi bagian-bagian lain dari metodologi al-Asy'ari, juga epistemologinya, banyak dikecam oleh kaum Hanbali. Di mata mereka, seperti halnya dengan Ilmu Kalam kaum Mu'tazilah, Ilmu Kalam al-Asy'ari pun banyak menggunakan unsur-unsur filsafat Yunani, khususnya logika (manthiq) Aristoteles. Dalam penglihatan Ibn Taymiyyah, logika Aritoteles bertolak dari premis yang salah, yaitu premis tentang kulliyyat (universals) atau al-musytarak al-muthlaq (pengertian umum mutlak), yang bagi Ibn Taymiyyah tidak ada dalam kenyataan, hanya ada dalam pikiran manusia saja karena tidak lebih daripada hasil ta'aqqul (intelektualisasi).[17] Demikian pula konsep-konsep Aristoteles yang lain, seperti kategori-kategori yang sepuluh (esensi, kualitas, kuantitas, relasi, lokasi, waktu, situasi, posesi, aksi, dan pasi), juga konsep-konsep tentang genus, spesi, aksiden, properti, dan lain-lain, ditolak oleh Ibn Taymiyyah sebagai basil intelektualisasi yang tidak ada kenyataannya di dunia luas. Maka terkenal sekali ucapan Ibn Taymiyyah bahwa "hakikat ada di alam kenyataan (di luar), tidak dalam alam pikiran" (Al-haqiqah fi al-ayan, la fi al-adzhan).[18]

Epistemologi Ibn Taymiyyah tidak mengizinkan terlalu banyak intelektualisasi, termasuk interprestasi. Sebab baginya dasar ilmu pengetahuan manusia terutama ialah fithrah-nya: dengan fithrah itu manusia mengetahui tentang baik dan buruk, dan tentang benar dan salah.[19] Fithrah yang merupakan asal kejadian manusia, yang menjadi satu dengan dirinya melalui intuisi, hati kecil, hati nurani, dan lain-lain, diperkuat oleh agama, yang disebut Ibn Taymiyyah sebagai "fithrah yang diturunkan" (al-fithrah al-munazzalah). Maka metodologi kaum Kalam baginya adalah sesat.[20]

Yang amat menarik ialah bahwa epistemologi Ibn Taymiyyah Yang Hanbali berdasarkan fithrah itu paralel dengan epistemologi Abu Ja'far Muhammad ibn Ali ibn al-Husayn Babwayh al-Qummi (wafat 381 H), seorang "ahli Ilmu Kalam" terkemuka kalangan Syi'ah. Al-Qummi, dengan mengutip berbagai hadits, memperoleh penegasan bahwa pengetahuan tentang Tuhan diperoleh manusia melalui fitrah-nya, dan hanya dengan adanya fitrah itulah manusia mendapat manfaat dari bukti-bukti dan dalil-dalil.[21]

Maka sejalan dengan itu, Ibn Taymiyyah menegaskan, bahwa pangkal iman dan ilmu ialah ingat (dzikr) kepada Allah. "Ingat kepada Allah memberi iman, dan ia adalah pangkal iman .....pangkal ilmu.[22]

CATATAN

1 Ibn Taymiyyah, Minhaj al-Sunnah, jil. 4, h. 237.

2 Ibid, hh. 12-13.

3 Ibid, h. 110.

4 Ibid.

5 Ibid., jil. 1, hh. 344 dan 345.

6 Ibn Taymiyyah, Naqdl al-Manthiq, h. 185.

7 Minhaj, jil. 1, h. 344.

8 Karena dominannya isu Kalam atau Sabda Allah apakah qadim atau hadits sebagai pusat kontroversi itu maka ada kaum ahli yang mengatakan penalaran tentang segi ajaran Islam yang relevan itu disebut Ilmu Kalam, seolah-olah merupakan ilmu atau teori tentang Kalam Allah. Disamping itu, seperti Ibn Taymiyyah, mengatakan bahwa ilmu itu disebut Ilmu Kalam dan para ahlinya disebut kaum Mutakallim, sesuai dengan makna harfiah perkataan kalam dan mutakallim (pembicaraan, hampir mengarah kepada arti "orang yang banyak bicara"), ialah karena bertengkar sesama mereka dengan adu argumen melalui pembicaraan kosong, tidak substantif. (Lihat Ibn Taymiyyah, Naqdl al-Manthiq, hh. 205-206).

9 Berkenaan dengan kontroversi ini, seorang orientalis kenamaan, Wilfred Cantwell Smith dari Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal, Canada (tempat banyak ahli keislaman Indonesia dan Dunia belajar dan mengajar, termasuk, Prof. H.M. Rasydi), membandingkan paham orang Islam, khususnya aliran Sunni, dengan paham orang Kristen. Kata Smith, yang sebanding dengan al-Qur'an dalam Islam itu bukanlah Injil dalam Kristen, melainkan diri 'Isa al-masih atau Yesus Kristus. Sebab, sebagaimana orang-orang Muslim (aliran Sunni) memandang al-Qur'an itu qadiim seperti Dzat Ilahi, orang-orang Kristen memandang 'Isa sebagai penjelmaan Allah dalam sistem teologia Trinitas, yang juga qadim, sama dengan al-Qur'an. Jadi jika bagi agama Islam al-Qur'an itulah wahyu Allah (Inggris: revelation, pengungkapan diri), maka bagi agama Kristen 'Isa al-Masih itulah wahyu, menampakkan Tuhan. Sedangkan Injil bukanlah wahyu, melainkan catatan tentang kehidupan 'Isa al-Masih, sehingga tidak sama kedudukannya dengan al-Qur'an, tetapi bisa dibandingkan dengan Hadits. Maka sejalan dengan itu Nabi Muhammad tidaklah harus dibandingkan dengan 'Isa al-Masih (karena dia ini "Tuhan"), tetapi dengan Paulus (karena dia ini, sama dengan Nabi Muhammad, adalah "rasul"). (Lihat, W. C. Smith, Islam in Modern History [Princenton, N.J.: Princeton University Press, 19771, hh. 17-18 fn). Pandangan Islam tentang Isa al-Masih sudah sangat terkenal, dan tidak perlu dikemukakan di sini. Tetapi tentang Paulus, cukup menarik mengetahui bahwa sudah sejak awal sekali orang-orang Muslim terlibat dalam kontroversi dan polemik sekitar tokoh ini. Menurut Ibn Taymiyyah, misalnya, Paulus (Arab: Bawlush ibn Yusya') adalah scorang tokoh Yahudi yang berpura-pura masuk agama Nasrani dengan maksud merusak agama itu melalui pengembangan paham bahwa 'Isa al-Masih adalah Tuhan atau jelmaan Tuhan. Ibn Taymiyyah mengemukakan bahwa peranan Paulus dalam merusak agama Nasrani sama dengan peranan 'Abdullah ibn Saba' dalam tnerusak agama Islam. Serupa dengan Paulus, 'Abdullah ibn Saba', kata Ibn Taymiyyah, adalah seorang tokoh Yahudi dari Yaman yang menyelundup ke dalam Islam dengan tujuan merusak agama itu dari dalam, dengan mengembangkan paham yang salah dan serba melewati batas tentang Ali ibn Abi Thalib dan Anggota Keluarga Nabi (Ahl al-Bayt) sebagaimana kemudian dianut oleh kaum Rafidlah dan kaum Syi'ah pada umumnya. (Lihat, Minhaj, jil. 1, h. 8 dan jil. 4, h. 269). Kiranya kontroversi dan polemik serupa itu tidak perlu mengejutkan kita, karena telah merupakan bagian dari sejarah pertumbuhan pemikiran keagamaan itu sendiri.

10 Disini perlu kita tegaskan bahwa mihnah Khalifah al-Ma'mun itu, meskipun sangat buruk, tidak dapat disamakan dengan inquisition yang terjadi di Spanyol setelah reconquest. Karena mihnah itu dilancarkan dibawah semacam "liberalisme" Islam atau kebebasan berpikir yang menjadi paham Mu'tazilah, melawan mereka yang dianggap menghalangi "liberalisme" dan kebebasan itu, khususnya kaum "fundamentalis" (al-Hasywiyyun, sebuah sebutan ejekan, yang secara harfiah berarti kurang lebih "kaum sampah" karena malas berpikir dan menolak melakukan interprestasi terhadap ketentuan agama yang bagi mereka tidak masuk akal). Sedangkan inquisition di Spanyol kemudian Eropa pada umumnya secara total kebalikannya, yaitu atas nama paham agama yang fundamentalistik dan sempit melawan pikiran bebas yang menjadi paham para pengemban ilmu pengetahuan, termasuk para failasuf yang saat itu telah belajar banyak dari warisan pemikiran Islam.

11 Hajj Muhammad Shalih ibn 'Umar Samarani, Tarjamat Sabil al-Abid 'ala Jawharat al-Tawhid (sebuah terjemah dan uraian panjang lebar atas kitab Ilmu Kalam yang terkenal, Jawharat al-Tawhid, dalam bahasa Jawa huruf Pego, tanpa data penerbitan), hh. 27-28.

12 Ibid., hh. 149-151.

13 Minhaj, jil. 1, h. 172.

14 Ibid., h. 170.

15 Ibid.

16 Lihat kajian kita tentang "Interprestasi Metaforis" yang telah lalu.

17 Lihat Minhaj, jil. 1, hh. 235, 243, 254, 261, dan hh. 266. Juga Naqdl al-Manthiq, h. 25,164 dan 202.

18 Minhaj, jil. 1, hh. 243 dan 245.

19 Ibid., hh. 281 dan 291.

20 Naqdl al-Manthiq, hh. 38, 39, 171, 160-162, dan 172.

21 Abu Ja'far Muhammad ibn 'Ali ibn al-Husayn Babwayh al-Qummi, al-Tawhid (Qumm: Mu'assasat al-Nasyr al-Islami, 1398 H), hh. 22, 35, 82 dan 230.

22 Naqdl al-Manthiq, h. 34.