simpananku

  • simpananku

Sabtu, 31 Maret 2012

SANDRA TAUFIK HIDAYAT: PEMIKIRAN FILSAFAT PRAGMATISME (Charles Shander Peirce, John Dawey, William james, Ferdinand Canning Scott Schiller) Oleh : Sandra Taufik Hidayat

PEMIKIRAN FILSAFAT PRAGMATISME (Charles Shander Peirce, John Dawey, William james, Ferdinand Canning Scott Schiller) Oleh : Sandra Taufik Hidayat

Setelah kita mengetahui bahwa filsafat dalam bahasa inggris, yaitu philosophy, sedangkan dalam bahasa yunani adalah philein atau Philos artinya cinta dan sophi atau sophia artinya kebijaksanaan maka secara rikngkas bahasa disebut cinta kebijaksanaan . Secara istilah, Ramayulis mengutip pendapat Muhtar yahya bahwa berfikir filsafat ialah “pemikiran yang sedalam-dalamnya yang bebas dan teliti bertujuan hanya mencari hakikat kebenaran tentang alam semesta, alam manusia dan dibalik alam”.
Selanjutnya mengenai pragmatisme, didalam kamus ilmiah adalah paham yang menekankan pengalaman, penyelidikan, eksperimen, serta kebenaran yang mempunyai akibat-kibatnya yang memuaskan.sedang secara istilah luas, Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis . Di Amerika serikat pragmatisme mendapat tempatnya yang tersendiri didalam pemikiran filsafati. William James-lah orangnya yang memperkenalkan gagasan-gagasan pragmatisme itu kepada dunia . William james (1842-1910) ialah seorang psikolog , dilahirkan di New York, tentunya setelah beliau ilmu kedokteran di Universitas Havard ia belajar psikologi di Jerman dan nampaknya juga di Prancis. Kemudian dia memberi kuliah di tempat dia menuntut ilmunya itu, yaitu secara berturut-turut: anatomi, fisiologi, psikologi dan filsafat, hingga tahun 1907 . Selain William, tokoh pragmatisme lainnya adalah John Dawey (1859-1952) secara umum diakui sebagai filosof Amerika yang terkemuka. Ia adalah tokoh pragmatisme ketiga setelah Charles Sander Peirce (1139-1914) dan William James .
Ferdinand Canning Scott Schiller (16 Agustus 1864 - 9 Agustus 1937) adalah seorang filsuf Jerman-Inggris. Lahir di Altona, Holstein (pada waktu anggota Konfederasi Jerman, tetapi di bawah administrasi Denmark), Schiller belajar di Universitas Oxford, dan kemudian adalah seorang profesor di sana, setelah diundang kembali setelah waktu yang singkat di Cornell University. Belakangan dalam hidupnya ia mengajar di University of Southern California. Dalam masa hidupnya ia dikenal sebagai filsuf; setelah kematiannya karyanya dilupakan .
Filsafat Schiller adalah sangat mirip dan sering disejajarkan dengan pragmatisme dari William James, meskipun Schiller menyebutnya sebagai "humanisme". Dia menentang keras baik positivisme logis dan filsuf yang terkait (misalnya, Bertrand Russell) serta idealisme absolut (seperti FH Bradley).
selain tokoh itu ,. George Herbert Mead, dan Richard Rorty disebut-sebut juga sebagai tokoh pragmatisme .
Pemikiran pragmatisme sebetulnya memiliki berbagai bidang pembahasan, yang salah satunya adalah bahasa . Bagi peirce meaning, experience dan bahasa merupakan tiga hal yang memiliki relasi triadic, yang mempunyai sumber, konsekuensi, dan efek kognitif, fisik dan verbal. Dengan demikian, filsafat ini sangat kritis terhadap aliran materialisme, idealisme, realisme, dan rasionalisme yang selalu mencari sesuatu yang ultimate, absolut, abadi, esensi, substansi, dan permanen. Pragmatisme berusaha menengahi antara tradisi empiris dan tradisi idealis, dan menggabungkan hal yang sangat berarti diantara keduanya.
Dan sebenarnya istilah pragmatis telah dipakai oleh Immanuel Kant, untuk memnunjukan pemikiran yang sedang berlalu dan ditetapkan oleh maksud-maksud dan rencana. Ia menggunakan kata pragmatish sebagai kebaikan kata practical yang menunjuk pada bidang etika.Prinsipnya tentang “ lebih pentingnya akal praktis” telah merintis jalan bagi pragmatisme .

1. FILSAFAT PRAGMATISME CHARLES SHANDER PEIRCE
Pierce, seorang matematikus, fisikawan, filosof pendiri aliran pragmatisme. Ayahnya, benjamin pierce, adalah tokoh matematikus amerika dan sebagai profesor matematika dan astronomi di Harvard. Demikian pada Charles anaknya, ternyata bakatnya telah nampak dimasa mudanya dengan lulus dalam bidang matematika dan fisika di harvard tahun 1859 .
Secara kronologi garis besar, orientasi falsafi Peirce dapat dideskripsikan sebagai berikut :
a. Sistem Pertama, Tahun 1859 hingga 1861
Sistem ini merupakan bentuk idealisme ekstrem dari post-kantian dengan mengkombinasikan analitic transendental dengan idealis Plato. Dari sini, ia berangkat membuat kategori dari doktrin Kant tentang Sains transendental yang mencakup tiga serangkai klasifikasi ontologis, yaitu :
- Matter ( Objek Kosmologi )
- Mind ( Objek Psiokologi)
- God ( Objek Teologi )
Ketiga objek tersebut diatas, Pierce mengembangkannya dalam istilah it ( untuk dunia yang kasat mata), the thou (untuk dunia mental), dan the i ( untuk dunia abstrak). Yang menjadi masalah Pierce selanjutnya disini adalah bagaimana menggabungkan kategori-kategori itu. Dari sini, ia berpandangan bahwa fungsi filsafatadalah menerangkan dan menunjukan adanya kesatuan kebhinekaan alam.

b. Periode Transisi : Study Logika
Tidak puas dengan kelemahan klasifikasi proposisi dengan logika Kant, Pierce beralih ke pemikiran Duns Scotus bahwa klasifikasi argumen atau bentuk-bentuk inferensi adalah lebih fundamental karena makna proposisi-proposisi itu justru terletak pada interferensi tersebut. Disini ia mengembangkan ide tentang complex Truth, yaitu kebenaran proposisi yang dapat dibagi dalam kebenaran logis dan kebenaran etis. Inti Logika Peirce tampak pada statement-nya bahwa proposisi adalah salah salah bila pengalaman atau realitas menolaknya, dan ia adalah benar bila sesuai dengan pengalaman. Jadi kebenaran dan verifikasi adalah hal yang sama. Untuk itu, ia membagi logika menjadi, Speculative grammer, critical logic, dan spekulative rethoric. Ketiganya menjadi tema besar dalam filsafat bahasa yang ia kembangkan.

c. Sistem Kedua, Tahun 1866 hingga 1870
Pada tahun 1867, peierce menerbitkan tulisan-tulisannya yang berjudul “On the new list categories” memecahkan kesulitan tentang relasi kategori ontologis, mind, things(matter) dan abstrack. Adapun God merupakan the pure abstraction atribute. Dalam new list itu pula,, ia membicarakan aspek-aspek reference dalam hal signhood relation yang meliputi reference to abstraction, reference to an object, dan reference to an interprenant, yang ketiganya menggunakan dasar klasifikasi sistematis yang diterapkan dalam term,prposition, dan argument. Argument oleh Peirce dijadikan pijakan dalam hipotesis induksi dan deduksi dan ini disebut critical logic.

d. Sistem Ketiga, Tahun 1870 hingga 1884
Pada periode ini, peirce mengembangkan the logic of relations sebagai hasil upaya revisi dan perbaikan konsep sebelumnya tentang the subject-bpredicate theory of preposition dalam “New list”.

e. Sistem Ke Empat, Tahun 1885 hingga 1914
pierce pada periode ini mengembangkan formulasi pemikirannya tentang relasi 3 kategori aspek-aspek material dan formal, yang dikenal dengan sebutan firstness, secondness, dan thirdnes, yang juga ia sederhanakan dalam sebutan monadic,dyadic, dan triadic.
Kebenaran menurut Charles S. Peirce
Pierce membagi kebenaran menjadi dua, pertama; Kebenaran Transendental (Trancendental Truth), yaitu kebenaran yang menetap pada benda itu sendiri.kedua; Kebenaran kompleks (Complex Truth), yaitu kebenaran dalam pernyataan. Kebenaran kompleks dibagi menjadi kebenaran etis atau psikologis yaitu keselarasan pernyataan dengan apa ya ng diimani pembicara, dan kebenaran logis atau literal, yaitu keselarasan pernyataan dengan realitas yang didefinisikan. Semua kebenaran pernyataan ini harus diuji dengan konsekuensi praktis melalui pengalaman. Langkah awal yang harus dilakukan dalam memahami pandangan besar peirce tentang kebenaran adalah memahami adanya tiga sifat dasar yang ada keyakinan; pertama adanya proposi, kedua adanya penilaian, dan yang ketiga adanya kebiasaan dalam pikiran. Untuk mencapai sebuah keyakinan akan suatu, minimal harus ada tiga sifat dasar di atas. Pada gilirannya, keyakinan akan menghasilkan kebiasaan dalam pikiran (habit of mind). Berbagai kepercayaan dapat dibedakan dengan membandingkan kebiasaan dalam pikiran yang dihasilkan. Dari situ, peirce kemudian membedakan antara keraguan dan keyakinan. Orang yang yakin pasti berbeda dengan orang ragu minimal dari dua hal: feeling and behavior. Orang yang ragu selalu merasa tidak nyaman dan akan berupaya untuk menghilangkan keraguan itu untuk menemukan keyakinan yang benar.
Gagasan Peirce tentang keyakinan dan pencarian keyakinan yang benar, ia mengemukakan dua tipologi, yakni; fixation of belief, usaha untuk meneguhkan keyakinan yang telah dimiliki,agar bisa survive, dan Clarification of idea yang mencakup metafisika, etika dan logika. Pierce mengembangkan dalam bidang logika yang digagasnya dalam teori baru The New Logic (cara berfikir baru) dan The Logic of Inquiry (logika penelitian). Bagi Pierce, logic tidak statis tapi bersifat dinamis, sehingga dengan perkembangan ilmu pengetahuan, apa yang nampak sebagai fenomena dibaca dan dicerna dengan pembacaan yang kritis dan produktif.
Selanjutnya Peirce mengajukan lima konstruksi pemikiran yaitu, pertama; belief, berupa tatanan sosial yang dipegangi dan moral, kedua; habit of mind, kebiasaan dalam pikiran yakni adat istiadat yang turun temurun dan mengkristal, ketiga; doubt, keragu-raguan akan apa yang selama ini dianggap mapan karena adanya benturan antara turath (warisan keilmuan Islam) dengan al-hadathah (modernitas). Untuk memperoleh keyakinan, menurut Pierce seorang peneliti perlu menggunakan empat, yakni; tenasitas, otoritas, apriori, dan investigasi. Keempat; Inquiry (penelitian), yang dicari adalah meaning (nilai) bukan truth (kebenaran)dan yang kelima;the logic of theory. Peirce menegaskan bahwa kebenaran teks adalah sebagian kebenaran yang tertutup dalam kebenaran absolut. Dari sini, Peirce menewarkan perlunya Commonity of Research sehingga masing-masing kebenaran relatif tersebut masih dapat diapresiasi dan dikritik.
Peirce mengakui bahwa dalam sejarah manusia, usaha-usaha untuk mencari keyakinan yang benar itu setidaknya dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya:
1. A priori, yang berasal dari bahasa latin: a (dari) dan prior (yang mendahului). A priori digunakan, kontras dengan a posteriori, untuk mengacu pada kesimpulan-kesimpulan kepada apa yangt sudah di tentukan, bukan dari pengalaman. Oleh karena itu, a priori mengacu kepada apa yang dapat kita asalkan dari definisi dan apa yang tersirat dalam makna ide yang sudah diterima. A priori berarti tidak bergantung padav pengalaman indrawi. Barangkali ilustrasi yang tepat untuk a priori tersebut aedalah kasus penemuan obat malaria yang terjadi sedcara kebetulan. Seorang indian yang sakit minum air dikolam dan ahirnya mendapatkan kesembuhan. Hal ini terjadi berulang kali pada beberapa orang. Akhirnya, diketahui bahwa di sekitar kolam tersebut tumbuh sejenis pon yang kulitnya bisa digunakan sebagai obat malaria yang kemudian berjatuhan di kolam tersebut. Penemuan pon yang kelak di kemudian hari dikenal sebagai pon kina tersebut adalah terjadi secara kebetulan saja.
2. Trial and Error, artinya coba-coba. Metode ini bersifat untung-untungan. Salah satu contoh ialah model percobaab problem box Thorndike. Percobaan tersebut adalah seperti berikut: seekor kucing yang kelaparan dimasukkan ke dalam problem box, suatu ruangan yang hanya dapat di buka apabila kucing berhasil menarik ujung tali dengan membuka pintu. Karena rasa lapar dan melihat makanan di luar maka kucing berusaha keluar dari kotak tersebut dengan berbagai cara. Akhirnya dengan tidak sengaja si kucing berhasil menyentuh simpul tali yang membuat pintu jadi terbuka dan dia pun berhasil keluar. Percobaan tersebut berdasarkan pada hal yang belum pasti, yaitu kemampuan kucing tersebut untuk membuka pintu kotak masalah.
3. Melalui otoritas. Kebenaran bisa didapati melalui otoritas seseorang yang memegang kekuasaan, seperti seorang raja atau pejabat pemerintah yang setiap keputusan dan kebijaksanaan dianggap benar oleh bawahannya. Dalam filsafat jawa dikenal dengan istilah sabda pandita ratu, ucapan pendeta atau ratu selalu benar dan tidak boleh di banta lagi.
4. Melalui metode ilmiah dan investigasi. Metode ilmiah merupakan prosedur yang mencakup berbagai tindakan pikiran, pola kerja, tata langkah, dan cara teknis untuk memperoleh pengetahuan baru atau memperkembangkan pengetahuan yang ada.
Selanjutnya dalam sebuah makalah yang terbit pada 1878, yang berjudul How I Make Our Ideas Clear, Peirce menyatakan bahwa kebenaran suatu pernyataan di ukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis.
Suatu pernyataan adalah benar apabila pernyataan dari konsekuensi dari pernyataan itu dipercaya mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia. Kepercayaan atau keyakinan yang membawa pada hasil yang terbaik adalah yang menjadi justifikasi dari segala tindakan. Keyakinan yang meningkatkan suatu kesuksesan adalah kebenaran.
Pragmatisme sebagai suatu interpretasi baru terhadap teori kebenaran oleh peirce memang digagas sebagai teori arti. Dalam kaitan dengan ini: menurut teori pragmatis tentang kebenaran, suatu proposisi dapat disebut benar sepanjang proposisi itu berlaku atau memuaskan, berlaku dan memuaskannya itu diuraikan dengan berbagai ragam oleh para pengamat teori tersebut.
Sementara itu, James menominalisasikan pragmatisme sebagai teori cash value. James kemudian menyatakan: ide-ide yang benar menurut James, adalah ide-ide yang dapat kita serasikan, kita umumkan berlakunya, kita kuatkan, dan kita periksa. Sebaliknya ide yang salah adalah ide yang tidak demikian).
Untuk membedakan dengan dua pendahulunya tersebut, Dewey menamakan pragmatisme, sebagai instrumentalisme. Instrumentalisme sebenarnya sebutan lain dari filsafat pragmatisme, selain eksperimentalisme. Dewey merumuskan instrumentalisme pragmatis sebagai to conceive of both knowledge and practice as means of making good excellencies of all kind secure in experienced existence. Demikianlah, dewey pragmatisme dengan instrumentalism, operationalism, functionalism, dan experimentalisme. Menurut aliran tersebut, ide gagasan, pikiran dan intelegent merupakan alat atau instrumen untuk mengatasi kesulitan atau persoalan yang dihadapi manusia.

2. PRAGMATISME WILLIAM JAMES
Untuk menjelaskan pandangan-pandangan yang dikemukakan James, kita harus mulai dengan teorinya tentang kesadaran, yang sebagian besar dikembangkan secara lengkap di dalam The Principles of Psychology. James percaya bahwa psikologi dan filsafat erat-terkait melalui cara berikut: keduanya perlu menekankan deskripsi tentang pengalaman manusia dan juga tujuan menemukan penjelasan kausal.
Setelah menerbitkan The Principles of Psychology, James mempersembahkan dirinya lebih lanjut di dalam penjelajahan filosofis. Namun, ini tidak berarti bahwa ia memutuskan diri dari perhatian awalnya pada psikologi dan fisiologi. Dalam kenyataannya, karya filosofisnya dapat dipandang mengambil beberapa cabang sentral dari penekanan awalnya pada satu ide : bahwa kesadaran manusia adalah sebuah kekuatan aktif, selektif, bertujuan, yang dengannya manusia membentuk sebuah lingkungan yang religius dan lunak menjadi pola-pola yang bermakna. Dari fondasi ini, tulisan-tulisan lima belas tahun terakhir dari hidup James berpusat pada (1) arti penting pilihan dalam menentukan kepercayaan kita, (2) penilaian tentang hidup religius manusia, (3) hakikat makna dan kebenaran, dan (4) perkembangan sebuah metafisika pluralistik (yakni sebuah pandangan yang menekankan otonomi dan independensi hal-hal individual di alam semesta, hubungan dan ketergantungannya satu sama lain).
Ia juga meletakkan prinsip ini ke dalam praktek dan menunjukkan lima karakteristik dasar kesadaran dan pikiran kita, yaitu :
1. Pikiran bersifat personal-pengalaman diatur, keduanya memiliki seseorang.
2. Pikiran dan pengalaman berada di dalam perubahan yang konstan. Tidak ada dua pengalaman yang pernah identik, “sebuah keadaan yang telah berlaku tidak akan pernah kembali dan identik dengan apa yang sebelumnya”. James tidak mengingkari bahwa mengalami obyek yang sama sekali, tapi pengalaman kita tentang sebuah obyek memiliki sifat yang berbeda pada kesempatan-kesempatan yang berbeda.
3. Ada keberlanjutan dan juga perubahan di dalam pikiran dan pengalaman
4. Pikiran bersifat kognitif, dan pikiran berkenaan dengan sesuatu selain dirinya sendiri
5. Kesadaran bersifat selektif, kesadaran berkonsentrasi pada beberapa hal dan mengingkari beberapa hal yang lain.
Pemikiran James tentang karya-karyanya
Sikap yang dianut James digambarkan di dalam esainya “The Will to Believe”. Di dalam esai ini, ia menegaskan bahwa ada waktu-waktu ketika kita dihadapkan pada situasi di mana kita harus membuat keputusan tanpa memiliki semua bukti yang mungkin kita kuasai. Kehidupan tidak selalu memberi kita kemewahan menunggu hingga kita mendapatkan data yang meyakinkan, yang mendukung jalan tindakan yang benar. Tujuan James adalah menggambarkan beberapa karakteristik dasar situasi semacam itu, dan mempertahankan pandangan bahwa arah tindakan rasional di lingkungan ini tidaklah berarti melarikan diri dari realitas dengan mengklaim perlunya keharusan menunggu bukti yang lebih obyektif sebelum memutuskan apa yang harus dilakukan.
The Varieties of Religious Experiences memuat usaha besar James untuk menilai arti agama dalam kehidupan manusia. Seperti Nietzsche, James menilai agama dari segi kontribusinya pada keutamaan manusia, tetapi kesimpulan yang diambil James berbeda dari para filosof Jerman pada masanya. Perbedaan ini sebagian besar dikarenakan fakta bahwa ideal James lebih demokratis dibandingkan ideal Nietzsche. James tentu memuji nilai individu-individu yang istimewa, tetapi ia memberi penekanan yang lebih jelas dan lebih kuat pada arti penting dan integritas setiap kehidupan manusia, perlunya manusia bekerja bersama guna menghasilkan yang terbaik, dan kebutuhan untuk menetapkan sebuah lingkungan di mana kebebasan personal dan kesatuan sosial melengkapi satu sama lain.
Di dalam bukunya Pragmatism, James membicarakan konsep pragmatis tentang kebenaran dalam satu bab. Di dalam The Meaning of Truth ia menjelaskan bahwa sekurang-kurangnya ada delapan hal yang disalahpahami orang tentang ajarannya. Suatu kritik, misalnya, mengatakan bahwa pragmatisme hanya menerangkan bagaimana kebenaran datang; tidak menjelaskan apa kebenaran itu sesungguhnya.
Karangannya, Essay in Radical Empirism a Pluralistic Universe, dan karyanya, Some Problems of Philosophy, membicarakan pertumbuhan pandangannya tentang pragmatisme di dalam metafisika dan epistemologi. Pragmatisme, menurut pendapatnya, memberikan suatu jalan untuk membicarakan filsafat dengan melalui pemecahan lewat pengalaman indera. Akan tetapi, ini ternyata tidak mencukupi untuk James karena ia menyadari bahwa pragmatisme juga mampu menghubungkan satu dengan lainnya. Jawaban yang harus diberikan ialah mengenai pandangan yang pasti tentang alam semesta. Pandangan ini tentu saja suatu metafisika.
Pemikiran William James adalah empirisme yang radikal atau empirisis yang pragmatis. Kepribadiannya dan pandangannya tentang manusia memerlukan suatu filsafat yang dapat berlaku adil pada perasaan keagamaan, moral dan kepentingan manusia terdalam. Ia memerlukan suatu filsafat yang pantas, yang dapat menghadapi kenyataan secara terus terang. Ia mencurigai setiap sistem filsafat yang murni intelektual atau yang mengaku benar secara absolut. Filsafat yang tidak selesai serta tidak absolut, itulah filsafat yang diakuinya, tetapi filsafat itu harus menyertai kehidupan manusia dan masa depannya. Filsafat harus membantu manusia menyelesaikan masalah yang dihadapinya, memberikan kepada manusia harapan yang optimistis dalam kehidupan yang vital.
Bahwa pragmatisme James itu bersifat voluntaristis, penekanannya pada pentingnya faktor usaha dan kesukarelaan dalam keputusan dan memperjelas sesuatu.
Tentang etikanya
Bahwa kaum pragmatis berpendapat bahwa yang baik adalah yang dapat dilaksanakan dan dipraktekkan, mendatangkan yang positif dan kemajuan hidup. Karena itu, baik-buruknya perilaku dan cara hidup dinilai atas dasar praktisnya, akibat tampaknya, dampak positifnya, manfaatnya bagi orang yang bersangkutan.

3. JHON DAWEY, PEMIKIRAN PRAGMATISME-NYA
Konsep kunci dalam filsafat Dewey adalah pengalaman. Pemahaman ini dipengaruhi oleh pemahaman kaum Hegelianisme tentang perkembangan pengalaman. Kaum Hegelian ini juga mempengaruhi pandangan Dewey dalam pemahamannya mengenai konsep sejarah dan metode dialog yang dikembangkannya dalam teori-teorinya tentang pendidikan sekolah. Bagi Dewey, pengalaman sebagai suatu yang bersifat personal dan dinamis adalah satu kesatuan yang mengultimatumkan suatu interelasi. Tidak ada pengalaman yang bergerak secara terpisah dan semua pengalaman itu memainkan suatu kompleksitas sistem yang organik. Menurutnya, pemikiran kita berpangkal dari pengalaman-pengalaman dan menuju pengalaman-pengalaman. Gerak itu dibangkitkan segera dan kita dihadapkan dengan suatu keadaan yang menimbulkan persoalan pada dunia sekitarnya, dan gerak itu berakhir dalam beberapa perubahan dalam dunia sekitar atau dalam dunia kita. Pengalaman yang langsung bukanlah soal pengetahuan, yang terkandung di dalamnya pemisahan subyek dan obyek, pemisahan antara pelaku dan sarananya. Di dalam pengalaman itu keduanya bukan dipisahkan, tetapi dipersatukan. Apa yang dialami tidak dipisahkan dari yang mengalaminya sebagai satu hal yang penting atau yang berarti. Jikalau terdapat pemisahan di antara subyek dan obyek hal itu bukan pengalaman, melainkan pemikiran kembali atas pengalaman tadi. Pemikiran, itulah yang menyusun sasaran pengetahuan. Atas dasar ini pula, Dewey merumuskan tujuan filsafat sebagai memberikan garis-garis pengarahan bagi perbuatan dalam kenyataan hidup. Oleh karena itu, filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran-pemikiran metafisis yang tidak bermanfaat. Dalam konteks ini, filsafat digunakan sebagai dasar dan fungsi sosial.
Pokok pandangan ini muncul sebagai kritiknya atas pokok dari filsafat jaman sebelumnya yang mengemukakan pandangan tentang realitas dan fungsi pengetahuan yang membingungkannya. Menurutnya, kaum empiris telah beranggapan bahwa pikiran selalu menunjuk pada obyek-obyek dari alam, dan bahwa setiap ide selalu berhubungan dengan suatu realitas. Dengan kata lain, pengetahuan seakan-akan dibentuk setelah subyek berhadapan dengan atau memandang sesuatu di luar dirinya. Inilah yang disebut “a spectator theory of knowledge”. Menurut teori ini, subyek pengetahuan bertindak bagaikan seorang penonton yang hanya dengan memandang sudah mendapatkan ide tentang obyeknya. Inilah pandangan kaum rasionalis. Menurut pandangan ini, rasio merupakan suatu instrumen untuk memperhatikan apa yang tetap dan pasti pada alam. Alam dan rasio adalah dua hal yang terpisah dan berbeda
Dewey beranggapan bahwa baik apa yang dikembangkan oleh kaum empiris maupun kaum rasionalis terlalu statis di satu pihak dan terlampau mekanistik di lain pihak. Atas pengaruh Hegelian, Dewey mengakui bahwa antara manusia dan lingkungan alamiahnya terdapat dialektika yang konfliknya “terselesaikan” dalam pengalaman. Hal ini disebabkan karena setiap pengalaman adalah kekuatan yang berdaya guna. Maksudnya, pengalaman merupakan pertemuan antara manusia dengan lingkungan alam yang mengitarinya dan itu membawa manusia pada pemahaman yang baru. Pengalaman juga bersifat dinamis karena lingkungan juga bercorak dinamis. Inteligensi pada hakikatnya merupakan kekuatan yang dimiliki manusia untuk menghadapi lingkungan hidup yang terserap dalam pengalamannya. Dalam konteks ini, berpikir adalah suatu aktivitas inteligensi yang lahir karena adanya pengalaman manusia dan bukan suatu akivitas yang terisolasi dalam pikiran semata.
Berdasarkan pendangannya tentang hubungan pengalaman dan corak berpikir di atas, Dewey membagi aspek pemikiran dalam dua aspek. Pada mulanya aspek pimikiran selalu berada dalam a) situasi yang membingkungkan dan tidak jelas, b) situsi yang jelas di mana masalah-masalah terpecahkan. Menurutnya, aktivitas berpikir selalu merupakan sarana untuk memecahkan masalah-masalah. Hal ini mengandaikan bahwa aktivitas inteligensi lebih luas dari sekedar aktivitas kognitif, yaitu meliputi keinginan–keinginan yang muncul dalam diri subyek ketika berhadapan dengan kesekitarannya. Inilah yang disebut Dewey teori instrumentalia tentang pengetahuan. Yang dimaksudkan dengan teori instrumentalisme adalah suatu usaha untuk menyusun suatu teori yang logis dan tepat dari konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan, penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya yang bermacam-macam, dengan cara pertama-tama menyelidiki bagaimana pikiran berfungsi dalam penentuan-penentuan yang berdasarkan pengalaman, yang mengenai konsekuensi-konsekuensi di masa depan. Teori ini juga yang mendorongnya untuk menyebut sistemnya dengan istilah instrumentalisme daripada disebut sebagai pragmatisme.
Pandangan Dewey Tentang Manusia Dan Lingkungan Sosialnya
Padangan Dewey tentang manusia bertolak dari konsepnya tentang situasi kehidupan manusia itu sendiri. Manusia adalah makhluk sosial, sehingga segala perbuatannya, entah baik atau buruk, akan diberi penilaian oleh masyarakat. Akan tetapi di lain pihak, manusia manurutnya adalah yang menciptakan nilai bagi dirinya sendiri secara alamiah. Masyarakat di sekitar manusia dengan segala lembaganya, harus diorganisir dan dibentuk sedemikian rupa sehingga dapat memberikan perkembangan semaksimal mungkin. Itu berarti, seorang pribadi yang hendak berkembang selain berkembang atas kemungkinan alamiahnya, perkembangannya juga turut didukung oleh masyrakat yang ada di sekitarnya.
Dewey juga berpandangan bahwa setiap pribadi manusia memiliki struktur-struktur kodrati tertentu. Misalnya insting dasar yang dibawa oleh setiap manusia. Insting-insting dasar itu tidak bersifat statis atau sudah memiliki bentuk baku, melainkan sangat fleksibel. Fleksibilitasnya tampak ketika insting bereaksi terhadap kesekitaran. Pokok pandangan Dewey di sini sebenarnya ialah bahwa secara kodrati struktur psikologis manusia atau kodrat manusia mengandung kemampuan-kemampuan tertentu. Kemampuan-kemampuan itu diaktualisasikan sesuai dengan kondisi sosial kesekitaran manusia. Bila seseorang berlaku yang sama terhadap kondisi kesekitaran, itu disebabkan karena “kebiasaan”, cara seseorang bersikap terhadap stimulus-stimulus tertentu. Kebiasaan ini dapat berubah sesuai dengan tuntutan kesekitarannya.
Dewey juga berbicara tentang kejahatan (evil) manusia. Kejahatan bukanlah sesuatu yang tidak dapat dirubah. Sebaliknya, kejahatan merupakan hasil dari cara tertentu manusia yang dibentuk dan dikondisikan oleh budaya. Oleh karena itu, syarat mutlak untuk mengatasi kejahatan adalah mengubah kebiasaan-kebiasaan masyarakat, yaitu kebiasaannya dalam berpikir dan bereaksi terhadap kesekitaran.

Pandangan Dewey Tentang Demokrasi Dan Pendidikan
Dewey juga menjadi sangat terkenal karena pandangan-pandanganya tentang filsafat pendidikan. Pandangan yang dikemukakan banyak mempengaruhi perkembangan pendidikan modern di Amerika. Ketika ia pertama kali memulai eksperimennya di Universitas Chicago, ia telah mulai mengkritik tentang sisitem pendidikan tradisional yang bersifat determinasi. Sekarang ini, pandangannya tidak hanya digunakan di Amerika, tetapi juga di banyak negara lainnya di seluruh dunia.
Untuk memahami pemikiran John Dewey, kita harus berusaha untuk memahami titik-titik lemah yang ada dalam dunia pendidikan itu sendiri. Ia secara realistis mengkritik praktek pendidikan yang hanya menekankan pentingnya peranan guru dan mengesampingkan para siswa dalam sestem pendidikan. Penyikasaan fisik dan indoktrinasi dalam bentuk penerapan dokrin-dokrin menghilangkan kebebasan dalam pelaksanaan pendidikan. Tak lepas dari kritikannya juga yakni sistem kurikulum yang hanya “ditentukan dari atas” tanpa memperhatikan masukkan-masukkan dari bawah.
Dewey sangat menganggap penting pendidikan dalam rangka mengubah dan membaharui suatu masyarakat. Ia begitu percaya bahwa pendidikan dapat berfungsi sebagai sarana untuk peningkatan keberanian dan disposisi inteligensi yang terkonstitusi. Dengan itu, dapat pula diusahakan kesadaran akan pentingnya pengormatan pada hak dan kewajiban yang paling fundamental dari setiap orang. Gagasan ini juga bertolak dari gagasannya tentang perkembangan seperti yang sudah di bahas sebelumnya. Baginya ilmu mendidik tidak dapat dipisahkan dari filsafat. Maksud dan tujuan sekolah adalah untuk membangkitkan sikap hidup yang demokratis dan untuk mengembangkannya. Pendidikan merupakan kekuatan yang dapat diandalkan untuk menghancurkan kebiasaan yang lama, dan membangun kembali yang baru. Bagi Dewey, lebih penting melatih pikiran manusia untuk memecahkan masalah yang dihadapi, daripada mengisisnya secara sarat dengan formulasi-formulasi secara sarat teoretis yang tertib. Pendidikan harus pula mengenal hubungan yang erat antara tindakan dan pemikiran, antara eksperimen dan refleksi. Pendidikan yang bertolak dan merupakan kontuinitas dari refleksi atas pengalaman juga akan mengembangkan moralitas dari anak didik. Dengan demikian, belajar dalam arti mencari pengetahuan, merupakan suatu proses yang berkesinambungan. Dalam proses ini, ada perjuangan terus-menerus untuk membentuk teori dalam konteks eksperimen dan pemikiran.
Bagi Dewey, kehidupan masyarakat yang berdemokrtatis adalah dapat terwujud bila dalam dunia pendidikan hal itu sudah terlatih menjadi suatu kebiasaan yang baik. Ia menyatakan bahwa ide pokok demokrasi adalah pandangan hidup yang dicerminkan dengan perlunya partisipasi dari setiap warga yang sudah dewasa dalam membentuk nilai-nilai yang mengatur kehidupan bersama. Ia menekankan bahwa demokrasi merupakan suatu keyakinan, suatu prinsip utama yang harus dijabarkan dan dilaksanakan secara sistematis dalam bentuk aturan sosial politik. Dari pernyataan ini, bagi Dewey demokrasi bukan sekedar menyangkut suatu bentuk kehidupan bersama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Demokrasi berarti setiap orang mengalami kebebasannya untuk berkreasi dan mengungkapkan pengalaman humanitasnya dalam partisipasi bersama. Untuk tujuan ini, maka sekolah menjadi medium yang mengungkapkan bagaimana hidup dalam suatu komunitas yang demokratis. Dewey selalu mengatakan bahwa sekolah merupakan suatu kelompok sosial yang kecil (minoritas); yang menggambarkan atau menjadi cerminan dari kelompok sosial yang lebih besar (mayoritas). Ia menegaskan bahwa sosialisasi nilai-nilai demokratis harus dilaksanakan oleh sekolah yang demokratis. Dan ini diusahakan antara lain dengan menekankan pentingnya kebebasan akademik dalam lingkungan pendidikan. Ia dengan secara tidak langsung menyatakan bahwa kebebsan akademik diperlukan guna mengembangkan prinsip demokrasi di sekolah yang bertumpu pada interaksi dan kerjasama, berdasarkan pada sikap saling menghormati dan memperhatikan satu sama lain; berpikir kreatif menemukan solusi atas problem yang dihadapi bersama, dan bekerjasama untuk merencanakan dan melaksanakan solusi. Secara implisit hal ini berarti sekolah yang demokratis harus mendorong dan memberikan kesempatan kepada semua siswa untuk aktif berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, merencanakan kegiatan dan melaksanakan rencana tersebut.

Problem Estetika
Penedekatan Dewey pada seni berbeda dengan para Idealis. Dia tidak prihatin dengan segala usaha untuk menemukan suatu yang lebih dahulu sebagai standar yang indah dalam analisa para genius . Maksud utama dari seni ini adalah memberikan suatu ilmu sosiologi dan penjelasan empiris dari setiap subyek. Seni tidak berakhir dalam pencarian lewat diri sendiri. Itu dibuat dengan fungsi untuk menjadikan suatu kehidupan indah. Kekeliruan teori dari estetika yang klasik adalah pembagian antara seni dan ilmu, antara seni dan moral.
Dalam pendidikan seni, pengaruh Dewey telah masuk didalamnya. Dia membiarkan partisipasi ilmu lain pada seni untuk dipelajari oleh para pelajar. Pada zaman Dewey, terdapat reaksi yang bertentangan dengan semangat yang ada dalam seni. Banyak kritik yang diberikan terhadap konsep seni pada abad pertengahan dan zaman renessance. Paham industrialis memunculkan kembali apa yang terjadi pada zaman klasik dimana moral dan seni disatukan.
Dewey lebih percaya para ahli seni tidak hanya berada dalam sekolah-sekolah dan museum tetapi berada juga di pabrik dan di rumah-rumah. Dengan cara ini hal pokok dari seni adalah berkehendak menemukan apa yang menjadi bagian dari harian hidup manusia.
Kontribusi Dewey
Mungkin kontribusi Dewey bagi perkembangan kebudayaan Amerika yang paling bessar adalah formulasinya secara batu tentang filsafat. Baginya, filsafat harus terarah pada masalah-masalah sosial dalam setiap waktu dan berusaha untuk diklarifikasikan dengan masalah filsafat politik dan ekonomi. Dalam bahasa lain, tradisi epistemologi dan problem metaisika juga patutu diperhitungkan dalam tempat yang kedua. Semuanya berpengaruh pada atau membentuk konsep filsafat sosial.
Berkaitan dengan semuanya, John Dewey percaya bahwa filsafat membawa pengaruh pada perkembangan pendidikan. Sebagai akaibatnya pendidikan telah memberikan pertimbangan argumen. Liberalisme Dewey telah mempengaruhi bidang-bidang seperti religius, politik dan estetika. Hal ini juga bergesar pada ilmu pengetahuan sekaligus mewakilki potensi-potensi yang ada pada budaya Amerika.
Dalam evaluasi dari ilmu pengetahuan, Dewey dalam bukunya mengkombinasi tradisi dari Bacon dan Lock. Biologi yang menjadi kunci untuk membenarkan pengertian akan alam bukan ontologi. Selanjutnya dia terus pada meode pragmatismenya James dan memajukan supernatural dari pemikiran Amerika.


SIMPULAN
Filsafat ialah “pemikiran yang sedalam-dalamnya yang bebas dan teliti bertujuan hanya mencari hakikat kebenaran tentang alam semesta, alam manusia dan dibalik alam”. Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis.
Di Amerika serikat pragmatisme mendapat tempatnya yang tersendiri didalam pemikiran filsafati. William James-lah orangnya yang memperkenalkan gagasan-gagasan pragmatisme itu kepada dunia. Selain William, tokoh pragmatisme lainnya adalah John Dawey (1859-1952) secara umum diakui sebagai filosof Amerika yang terkemuka. Ia adalah tokoh pragmatisme ketiga setelah Charles Sander Peirce (1139-1914) dan William James
Pemikiran pragmatisme sebetulnya memiliki berbagai bidang pembahasan, yang salah satunya adalah bahasa . Bagi peirce meaning, experience dan bahasa merupakan tiga hal yang memiliki relasi triadic, yang mempunyai sumber, konsekuensi, dan efek kognitif, fisik dan verbal. Dengan demikian, filsafat ini sangat kritis terhadap aliran materialisme, idealisme, realisme, dan rasionalisme yang selalu mencari sesuatu yang ultimate, absolut, abadi, esensi, substansi, dan permanen. Pragmatisme berusaha menengahi antara tradisi empiris dan tradisi idealis, dan menggabungkan hal yang sangat berarti diantara keduanya.
Dan sebenarnya istilah pragmatis telah dipakai oleh Immanuel Kant, untuk memnunjukan pemikiran yang sedang berlalu dan ditetapkan oleh maksud-maksud dan rencana. Ia menggunakan kata pragmatish sebagai kebaikan kata practical yang menunjuk pada bidang etika.Prinsipnya tentang “ lebih pentingnya akal praktis” telah merintis jalan bagi pragmatisme




DAFTAR PUSTAKA

Al-Barry MDJ, Hadi Sofyan, 2000. Kamus Ilmiah Kontemporer, Bandung: CV.Pustaka Setia
Asmoro Achmadi, 2001. Filsafat Umum, Jakarta : PT. Grafindo Persada.
Hadiwijono harun, 1980. Sari sejarah filsafat barat 2.Yogyakarta: Kanisius.
Harjono A. Mangun, 1997. Isme-isme dari A sampai Z, Yogyakarta.: Kanisius (Anggota IKAPI).
John K. Roth,2003. Persoalan-persoalan Filsafat Agama, Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Ramayulis, 2009. Filsafat Pendidikan Islam,Jakarta:kalam mulia
Russell Bertrand, 2007 Cet ke III .Sejarah Filsafat Barat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tafsir Ahmad, 2003. Filsafat Umum, , Bandung : PT. Remaja Rosdakarya
Solihin M, 2007 Cet I. Perkembangan Pemikiran Filsafat dari Klasik Hingga Modern, Bandung : CV. Pustaka Setia.
Zubaedi, 2010 Cet-ke II. Filsafat Barat, Jogjakarta:Arruz Media.


PEMIKIRAN FILSAFAT PRAGMATISME
(Charles Shander Peirce, John Dawey, William james,
Ferdinand Canning Scott Schiller)

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Filsafat Barat
Dosen : Prof. Dr. Abdul Rojak

MAKALAH















Disusun Oleh
Sandra Taufik Hidayat



PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2012